Di Kalimantan Barat, puluhan jurnalis berebut
menjadi calon anggota legislatif. Saat maju dalam pencalonan, sebagian besar
dari mereka tidak menanggalkan profesi kewartawanannya.
Keinginan menjadi jurnalis awalnya tak pernah terlintas
dalam benak Tanto Yakobus, 35 tahun. Dia hanya mencoba-coba profesi ini karena
tidak ada pekerjaan lain, setelah lulus dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Tanjungpura pada 1997.
Kisahnya, saat itu, Tanto mengantar temannya, Rusli, yang
memasukan lamaran di hari terakhir ke Harian Suaka. Kebetulan, di jok
motornya, Tanto menyimpan foto copi ijazah kuliahnya. Dia pun ikutikutan
mengirimkan lamaran. Eh, malah Tanto yang diterima bekerja. Sedangkan lamaran
Rusli ditolak.
Tapi, setelah enam bulan bekerja, Tanto mulai merasakan
asyiknya menjadi jurnalis. Salah satu penyebabnya, di profesi ini Tanto merasa
bekerja dengan orang-orang yang punya ‘kemampuan’.
Sayangnya, koran tempat Tanto bekerja tak bertahan lama.
Selepas koran itu bangkrut, Tanto pindah kerja sebagai koresponden majalah Gatra
dan Forum di Kalimantan Barat. Ia pernah menjadi redaktur di Harian
Equator. Ini sebuah koran grup Jawa Pos di Kalbar. Sekarang ini, Tanto menjadi
Wakil Pemimpin Redaksi di Borneo Tribune.
Borneo Tribune adalah sebuah koran harian yang didirikan
di Pontianak pada 19 April 2007. Pemegang sahamnya, para pengusaha, politikus,
dan pengacara lokal di Kalbar. Berdiri sendiri dan tak punya afiliasi pada
koran nasional.
Ketertarikan Tanto pada dunia politik bermula ketika ia
ikut arisan orang Sekadau, Paguyuban Patih Sanggar Singaria, di Pontianak. Nama
itu diambil dari nama Patih Sangaria, seorang Temenggung dari Sekadau.
Situasi daerah ketika itu, ada berbagai keinginan dari
para elit politik lokal untuk memekarkan wilayah. Motifnya bisa ditebak, dengan
terbentuknya wilayah baru, bakal ada berbagai posisi jabatan di pemerintahan
dan ada anggota legislatif di DPRD. Meski begitu, alasan yang muncul ke permukaan
adalah, pemekaran diperlukan agar rentang
kendali pembangunan bisa dipangkas. Apalagi di wilayah
yang luas seperti Kalbar.
Aktivitas Tanto Yakobus di dunia politik makin mengental
saat terjadi pemekaran Kabupaten Sekadau dari Kabupaten Sanggau pada 2003.
Sekadau dulunya bekas kawedanan.
Ada 30 orang penggagas awal pemekaran. Sebagian besar
adalah pegawai negeri sipil. Hanya tiga orang bukan PNS. Ketiganya, Tanto,
Tauhid dan Johan. Tanto mengikuti dari awal proses itu. Bahkan, dalam berbagai
rapat di gedung DPRD dan DPR RI di Jakarta, ia turut serta.
Selepas Kabupaten Sekadau terbentuk, Johan berkata pada
Tanto, “Kita ini sudah lahirkan Sekadau, tapi tak dapat apa-apa. Kalau mau
berpartisipasi di Sekadau, hanya ada satu cara. Ikut partai politik dan jadi
dewan,” kata salesman minyak pelumas Shell itu.
Tanto pun tergiur ajakan Johan. Pada 2004, dia masuk ke
Partai Demokrat. Tapi, Tanto membantah dia latah atau ikut-ikutan. “Sekarang
ini masa yang pas. Umur 35, masa untuk mengubah pekerjaan satu dengan lainnya,“
kata dia. Alasan lain, “Ternyata tangan aku tak sanggup lagi mengubah orang
dengan tulisan. Aku ingin mengubah orang dengan mulut aku dengan menjadi
anggota Dewan.”
Tanto jadi caleg di wilayah Kalbar 6, daerah pemilihan
Sanggau dan Sekadau. Jumlah pemilih di dua kabupaten ini sebanyak 415.736
orang. Pemilih lelaki 214.830 orang. Pemilih perempuan 200.906 orang.
Harry Adrianto lelaki energik. Pembawaannya selalu waspada.
Khas seorang jurnalis. Ia biasa dipanggil Harry Daya. Daya berasal dari kata
Dayak. Panggilan itu diperoleh, semasa ia kuliah di Jurusan Jurnalistik,
Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Temannya menganggap,
karena berasal dari Kalimantan, berarti orang Dayak. Panggilan itu telah
melekat hingga kini. Orang lebih mengenal Harry Daya, daripada Harry Adrianto.
Sedari kuliah, ia sudah menjadi jurnalis. Ia pernah
bekerja sebagai reporter Harian Pontianak Post yang ditempatkan di Jakarta. Selepas
itu, menangani beberapa media di Bogor. Akhirnya, ia kembali ke Pontianak, dan
menjadi Redaktur Pelaksana di Harian Equator. Selepas itu, ia menjadi
koresponden Majalah Tempo di Kalbar.
Sebagai anak rantau yang pernah melihat berbagai daerah
dan permasalahan, dia membandingkan kehidupan masyarakat di perantauan dengan
tempat tinggalnya. Ia tinggal di kompleks Transat Pontianak, tempat tinggal
para pensiunan tentara.
“Ada sesuatu yang salah,” kata Harry, “ada banyak
ketidakadilan.” Di mata Harry, kehidupan penghuni asrama seolah mandeg, bahkan
mengalami kemunduran. Kehidupan warga tak teratur dan miskin. Para pemuda
menganggur dan tak ada pekerjaan.
Pada Pemilu 2004, Harry marah dengan Partai Golkar.
Alasannya, Golkar tidak memperhatikan kompleks itu. Padahal, setiap berlangsung
Pemilu, penghuni komplek selalu menjadi pendukung setia partai berlambang
beringin ini. Karenanya, Golkar selalu menang di kompleks itu.
Ia melihat anggota dewan sering lupa daratan. Mereka
membawa berbagai sumbangan menjelang Pemilu. Tapi, ketika sudah terpilih,
mereka tak muncul lagi.
“Saya sangat sedih, karena Transat sebagai basis Golkar,
tapi diperlakukan secara semena-mena oleh orang Golkar,” kata Harry pada sang
petinggi partai.
Akhirnya, pada 2005, Harry dan kawan-kawan membentuk
sebuah organisasi. Namanya, Forum Anak Kolong (FAK). Misinya menyatukan semua
anak kolong di setiap wilayah agar bisa eksis di bidang sosial, ekonomi dan
politik. Anggota FAK pun dilarang meminta-minta sumbangan. Itu hal memalukan.
FAK membebaskan kadernya masuk ke partai manapun. Harry
masuk ke Partai Persatuan Daerah (PPD) dan diberi nomor urut satu. “Setelah
menjadi anggota DPRD, saya berharap bisa jadi jembatan warga untuk hal yang
lebih baik,” kata Harry.
Namanya hanya satu kata, Holdi. Namun, lompatan hidup
yang ingin dia lakukan tak sependek namanya. Dia salah satu penganut semboyan
hidup, “Life begins at fourty.” Karena itu, pada umur 40 tahun, dia ingin
membuat sebuah lompatan pada jalan hidupnya. Dia mencoba alih profesi dan mengejar
keinginan menjadi anggota Dewan.
Holdi besar di Kabupaten Sambas, sekitar 250 kilometer
dari Pontianak. Masa kecil hingga SMA, dia jalani di Sambas. Selepas SMA, Holdi
kuliah di STAIN Pontianak. Selesai kuliah, dia bekerja sebagai jurnalis di
Harian Pontianak Post, salah satu anak Jawa Pos Grup. Holdi sempat dipindahkan
ke Harian Equator sebagai redaktur, ketika koran itu baru terbentuk. Namun, dia
pindah lagi ke koran induk sebagai redaktur, hingga menjadi Redaktur Pelaksana.
Meski sudah lama tinggal di Pontianak, dia selalu ingat
dengan daerah asalnya. Kekerabatan dan persaudaraan masyarakat Sambas, memang
terkenal dan kuat.
Ia melihat keluarga dan masyarakat di Sambas, masih
tertinggal. Dia merasa, di Pontianak dia tidak bisa membuat banyak hal untuk
kampungnya. Kalau untuk sekedar membuat berita, bisa saja dia lakukan. Tapi dia
merasa itu tak riil, karena tak langsung terjun ke masyarakat. Apalagi sebagai
petinggi di Pontianak Post, dia terikat dengan pekerjaan dan rutinitas.
Ia ingin membangun kampung halaman. “Belasan tahun
meninggalkan kampung halaman, tapi tak ada yang dibuat,” kata Holdi. Dengan
alasan ingin membangun daerah, Holdi masuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Kini, ia menjadi Caleg dari PPP untuk DPRD Provinsi Kalbar, Daerah Pemilihan
Sambas. Ia mendapat nomor urut dua. “Masyarakat mesti diadvokasi, dan diberikan
bantuan modal pembangunan,” kata Holdi.
Endang Kusmiyati sosok seorang pekerja. Karakternya kuat
dan bersemangat. Saking semangatnya, terkadang ia juga harus bergesekan dengan
orang lain, atau rekan kerjanya. Ada sikap yang selalu menonjol dan dilihat
dari sosok ini. Ia memiliki sikap kritis. Begitu juga dengan rasa ingin tahu
tentang suatu permasalahan. Ia besar dan tumbuh di wilayah transmigran di
Kabupaten Sintang.
Para transmigran masuk ke Sintang, pada 1981. Menurut
penilaian Endang, pemerintah tak memberikan fasilitas atau sarana infrastruktur
memadai. Mereka ibarat dibuang di tengah hutan. Tanah pertanian gersang, karena
gambut begitu tebal. Bahkan, hingga sekarang pun, masih banyak daerah di Satuan
Pemukiman (SP) transmigran yang jalannya tak bisa ditembus kendaraan. Jalan
belum beraspal. Bila turun hujan, lumpur begitu pekat.
Endang sekolah SD hingga SMA di Sintang. Lulus dari
sekolah, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Pertanian, Jurusan Ilmu Tanah,
Universitas Tanjungpura di Pontianak. Masuk pada tahun 1998, melalui jalur non
utul (ujian tulis) atau mendapat PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). Ia
sempat cuti selama empat semester, dan menyelesaikan kuliah pada 2007.
Semenjak kuliah, ia aktif di berbagai kegiatan kampus.
Ada kegiatan pers dan lembaga studi kampus. Dari kegiatan itu, ia memperoleh
banyak pengalaman. “Semasa kuliah inilah, saya belajar berpolitik
kecilkecilan,” kata Endang. Misalnya, ia terlibat dalam pemilihan organisasi,
baik intern maupun ekstern kampus.
Untuk belajar komunikasi dengan masyarakat, ia
mendapatkannya ketika bergabung di NGO atau LSM, dan lembaga sosial lainnya. Di
organisasi ini, ia melakukan pendampingan masyarakat.
Selepas kuliah, ia pernah bekerja di beberapa media massa
dan NGO. Sekarang ini, Endang bekerja sebagai reporter, dan menjadi kepala biro
Sintang, untuk Harian Borneo Tribune.
Endang masuk sebagai calon legislator dari Partai Amanat
Nasional (PAN), untuk daerah pemilihan Sintang dengan nomor urut satu. Alasan
masuk ke dewan? “Ini memungkinkan kaum perempuan punya peran lebih baik dalam
pembangunan,” kata Endang. Ia melihat, khususnya di Sintang, tokoh perempuan
masih malu tampil.
Selain sosok-sosok tadi, masih ada puluhan jurnalis di
Kalimantan Barat yang mencoba keberuntungan di dunia politik. Mereka menjadi
bagian dari 1.183 calon anggota DPRD Provinsi yang memperebutkan 55 kursi dan
8.623 calon anggota DPRD Kabupaten/Kota yang memperebutkan 480 kursi.
Rupanya, banyak alasan bagi partai politik untuk
merangkul para jurnalis menjadi calon legislator. Antara lain kebutuhan akan
kader berkualitas, kepentingan pragmatis, dan kaderisasi yang tidak berjalan di
internal partai.
Hartono Azas, Ketua Partai Demokrat yang juga Wakil Ketua
DPRD Kota Pontianak, mengatakan, partai politik memang memerlukan media untuk
memperkenalkan visi, misi, dan programnya kepada masyarakat. Karena itulah,
beberapa tokoh politik berusaha menjadi pemegang saham di perusahaan media.
Kalaupun tidak bisa memiliki saham di media, partai
politik bisa merekrut jurnalis menjadi kadernya. Para jurnalis kader partai,
kata Azas, diharapkan mampu berkomunikasi lebih baik dengan masyarakat. “Karena
kunci politik adalah, bagaimana membangun komunikasi dengan baik,” kata Azas.
Kalangan politikus juga menganggap jurnalis lebih
mengetahui cara menyampaikan pesan melalui media. “Mereka memiliki cara
komunikasi yang efektif. Bahasanya mudah dimengerti,” ujar Azas.
Dengan segala kelebihannya, jurnalis diharapkan bisa
menyebarluaskan visi dan misi partai, sekaligus menarik simpati masyarakat
untuk mendukung cita-cita partai. “Pencitraan penting untuk politisi. Salah
satu caranya melalui media massa,” kata Azas.
Keuntungan bagi partai yang merekrut jurnalis, menurut
Azas, bergantung pada bobot nilai dan informasi yang disampaikan si jurnalis
kepada masyarakat. “Yang pasti, bagi jurnalis aktif yang bekerja di media,
akses untuk meloloskan berita lebih gampang,” kata Azas.
Meski begitu, menurut Azas, informasi yang tidak
disampaikan secara proporsional dan obyektif belum tentu menguntungkan partai.
Soalnya, masyarakat tidak akan langsung percaya berita di media yang mereka
ketahui sebagai corong salah satu partai. “Pembaca yang cerdas tidak mudah
terprovokasi sebuah berita,” kata dia.
Asmaniar, anggota DPRD Kalbar dari PAN mengatakan hal
berbeda. Alasan partai merekrut jurnalis menjadi caleg bukan karena partai
tertarik oleh “kehebatan” jurnalis. “Partai kekurangan orang. Siapapun diterima
sepanjang punya potensi,” kata dia.
Soal potensi, menurut Asmaniar, jurnalis memang memiliki
modal awal yang lebih baik ketimbang calon politikus lain. Jurnalis terbiasa
berhubungan dengan banyak orang dan biasa mengakses ke banyak sumber informasi.
Ketika diajak berpolitik, “Tinggal dipoles sedikit saja,” kata Asmaniar.
Etika dan Profesionalitas
Untuk menghindari konflik kepentingan, organisasi
jurnalis seperti Aliansi Jurnalis Independen melarang pengurus dan anggotanya
menjadi pengurus salah satu partai politik. Jika ada pengurus atau anggota AJI
yang berminat terjun ke dunia poilitik, dia harus menanggalkan keanggotan dan
kepengurusannya di AJI.
Kebijakan yang sama juga diterapkan oleh sedikit
perusahaan media yang wartawannya ingin menjadi pengurus partai atau calon
anggota legislatif. Kalaupun tidak diminta mundur sebagai karyawan, si jurnalis
biasanya dinonaktifkan dari pekerjaan dan jabatan keredaksian.
Tapi, tidak semua media menerapkan kebijakan seperti itu.
Masih ada media yang mengizinkan karyawannya berperan ganda: sebagai wartawan
sekaligus sebagai aktor politik.
Manajemen redaksi Pontianak Post, misalnya, pernah tak
memperbolehkan jurnalis terlibat di dunia politik atau menjadi caleg. “Namun,
aturan itu hanya di mulut saja. Tak ada yang tertulis,” kata Holdi.
Saat menjadi caleg, Holdi mengajukan surat cuti panjang
di luar tanggungan. Ia punya tekad bulat jadi caleg. Jadi, ia siap menghadapi
peraturan itu. “Kalau tidak diperbolehkan, ya, berhenti. Kalau masih
diperbolehkan, ya, terima kasih,” kata Holdi.
Pemimpin Redaksi Pontianak Post, Salman, mengatakan,
medianya kini membuat aturan lebih longgar. “Kebijakan itu tak lepas dari pengalaman
masa lalu,” kata Salman.
Pada Pemilu 2004, jurnalis Pontianak Post yang menjadi
caleg hanya diberi dua pilihan: batal menjadi caleg atau mundur sebagai
jurnalis. Saat itu, ada tiga wartawan Pontianak Post yang menjadi caleg.
Ternyata, satu orang memilih tetap jadi jurnalis. Dua orang lainnya memilih
keluar dan menjadi caleg, meskipun gagal.
Pada Pemilu 2009, jurnalis yang mendaftar jadi caleg bisa
mengambil cuti non aktif selama empat bulan. “Kalau dipangkas kasihan mereka,
toh karyawan kami juga,” kata Salman. Seandainya si jurnalis tidak terpilih
menjadi Dewan, dia bisa balik lagi ke Pontianak Post. Tapi, mesti membuat surat
lamaran baru. Perusahaan pun berhak menempatkan mereka di mana saja. “termasuk
di bagian iklan atau pemasaran.”
Holdi sendiri mengaku tak pernah memanfaatkan posisinya
di Pontianak Post untuk kepentingan pencalonan dirinya. Kalau ada undangan dari
Partai Persatuan Pembangunan, Holdi biasanya meminta jurnalis lain untuk
meliput. Holdi paling membekali si jurnalis dengan nomor kontak narasumber yang
bisa diwawancarai. “Kalau ada kawan di PPP yang dianggap bermasalah, biasanya
saya memberi tahu supaya kawan di partai itu memberi jawaban,” kata Holdi.
Tapi, dalam arsip berita di website Pontianak Post,
sebagai partai yang hanya mendapatkan kursi mendekati 15 persen, PPP
mendapatkan pemberitaan yang lumayan banyak, hanya dikalahkan oleh Golkar.
Selain itu, berita tentang PPP kebanyakan bernada positif.
Pada edisi 6 September 2008, misalnya, Pontianak Post
memuat berita berjudul Noureris Terharu dengan Dukungan Masyarakat, DPC
Segera Kirim Aspirasi Dukungan ke DPW PPP. Berita berisi cerita tentang
dukungan masyarakat yang menyampaikan aspirasi ke DPC PPP Ketapang, agar
Noureris Flyanshar, ditempatkan sebagai Caleg nomor urut satu, mewakili
Ketapang untuk DPRD Provinsi.
Citra PPP sebagai partai Islam juga tergambar dengan baik
dalam berita edisi 22 Juli 2008, berjudul Jaring Pencalegan. Dalam
menjaring caleg, selain berpedoman pada undang-undang, PPP juga membuat aturan
internal partai. Misalnya, calon harus bisa mengaji atau membaca al-Quran.
Berita itu juga menyebutkan, PPP terus membuat program untuk konsolidasi
partai, mengokohkan garis perjuangan, dan ikut memberikan pendidikan politik
kepada masyarakat.
Di Pontianak Post, PPP juga tergambar sebagai partai yang
selalu kompak. Pada edisi 9 Juli 2008, dimuat berita berjudul, Ahmadi Usman:
PPP Dikenal Paling Solid. Berita ini menjelaskan, kader PPP selalu kompak
dalam menjalankan segala kebijakan fraksi maupun partai.
Lihat juga berita edisi 7 Juli 2008 yang berjudul Target
Menang di Empat Pilkada. Disebutkan, sebagai partai besar di Indonesia,
dengan perolehan suara di papan atas, DPW PPP Kalbar mematok target besar dalam
Pilkada Kabupaten/Kota. Padahal, pada Pemilu 2004, dari 46 anggota DPRD Kalbar,
PPP hanya menempatkan 7 kursi.
Berita tentang konflik internal PPP memang dimuat
Pontianak Post. Pada 15 Januari 2004, muncul berjudul Pengajuan Caleg,
Parpol Dilanda Konflik Internal. Tapi, materi beritanya bernada positif juga.
Disebutkan, konflik internal soal nomor urut caleg itu diselesaikan dengan baik
dengan berpedoman atas instruksi pemimpin partai.
Adapun Harry Daya memilih tidak memberi tahu majalah
Tempo, media tempat dia mengirim berita sebagai koresponden. “Saya tidak tahu
apakah kantor tahu atau tidak (soal pencalonan saya),” kata Harry.
Harry mengklaim, pencalonan dirinya tak berpengaruh pada
berita yang dia kirim ke Jakarta. Caranya, agar bisa netral, sejak ditetapkan
sebagai calon, Harry cuti dari penulisan berita politik. Adapun berita di luar
politik, Harry masih membuatnya.
Harry menempuh cuti menulis berita politik juga untuk
menghindari tekanan atau kecurigaan dari partai lain. “Ini dilakukan sendiri.
Tahu diri sesuai dengan hati nurani,” kata Harry.
Sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Borneo Tribune, Tanto
Yacobus mencoba memainkan peran ganda. “Kalau masuk ke kantor jadi jurnalis.
Kalau masuk ke politik, tinggalkan status jurnalis,” kata Tanto.
Tanto tentu saja punya kesempatan menulis apa saja.
Sebagai contoh, pada 15 Agustus 2008, Tanto menulis berita berjudul Presiden
SBY Instruksikan Partai Demokrat Pakai Suara Terbanyak. Pada edisi 21
Agustus 2008, Tanto juga menulis berjudul Partai Demokrat Andalkan Figur
Muda. Dalam beberapa kesempatan, Tanto juga menulis kegiatan Ketua DPC
Partai Demokrat Kabupaten Sekadau, Simon Petrus, yang juga Bupati Sekadau.
Tanto juga pernah menulis sejumlah tajuk di
Borneo Tribune untuk menyuarakan keinginan dan sudut pandangnya. Misalnya,
Tanto menulis artikel berjudul Menjadi Pemain untuk mengungkapkan alasan alasan dia menjadi caleg dari
Partai Demokrat.
Meski begitu, Tanto mengaku telah berupaya menjaga
kenetralan ruang redaksi dari pencalonan dirinya. Caranya, pengeditan
berita-berita tentang Partai Demokrat dia pasrahkan kepada redaktur lain. “Saya
tahu diri lah,” ujar Tanto.
Wartawan Borneo Tribune lainnya, Endang Kusmiyati, juga
tetap menjalankan tugasnya sebagai wartawan, meski terdaftar sebagai calon
legislator PAN. Endang, misalnya, terus melakukan wawancara terhadap
caleg-caleg lain, baik yang dicalonkan PAN maupun yang dicalonkan partai lain.
Endang juga mewawancari caleg dari daerah pemilihan yang sama dengan dirinya.
Menurut dia, sepanjang layak dan menyangkut persoalan masyarakat, informasi
dari para caleg pesaingnya itu tetap harus ditulis.
Dengan tetap bekerja sebagai jurnalis, waktu bagi Endang
untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat sangat terbatas. Dia hanya bisa
manfaatkan waktu libur, seperti Sabtu dan Minggu. Itupun, dia harus “menabung”
berita terlebih dulu. Kalaupun terpaksa tidak bisa mengirim berita, dia
biasanya menghubungi redaktur atau pemimpin redaksi untuk memohon permakluman.
“So, saya pikir tidak ada masalah, selama segala
sesuatunya masih bisa dikomunikasikan,” kata Endang.
Pemimpin Redaksi Borneo Tribune, Nur Iskandar,
mengatakan, di medianya aturan main soal jurnalis yang masuk partai atau
menjadi caleg juga belum dibuat. “Sistem belum ada,” kata Nur. “Semuanya
kembali kepada kejujuran masing-masing.” n
Sumber:
Wajah Retak Media: Kumpulan Laporan Penelusuran
© AJI Indonesia
Cetakan Pertama. Mei 2009
Diterbitkan oleh.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
Jl. Kembang Raya No.6 Kwitang-Senen
Jakarta Pusat 10420 – Indonesia
Tel. +62 21 3151214, Fax. +62 21 3151261
Tentang Penulis:
MUHLIS SUHAERI
Kelahiran Jepara (Jawa Tengah). Menyelesaikan pendidikan
S1 di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), Jakarta, Fakultas
Komunikasi, Jurusan Jurnalistik.
Aktif menulis di media independen Indymedia Jakarta.
Mengikuti berbagai pelatihan jurnalistik. Diantaranya, jurnalisme radio, Jurnalisme
Sastrawi, Peace and Conflict Journalism Training I-III, pelatihan
investigasi Perhimpuan Pengembangan Media Nusantara (PMN) di Jakarta, workshop
Peningkatan Jurnalistik bagi Redaktur oleh LPDS dan Dewan Pers, workshop Bulan
Bahasa di Pontianak, Workshop isu-isu MDG’s, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Info
Kespro (Kesehatan Reproduksi), Media dan HIV/AIDS, Investigasi Illegal Logging.
Pernah menjadi reporter di radio Voice of Human Right (VHR).
Reporter di Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT).
Menulis untuk Majalah Kajian Media dan Jurnalisme Pantau. Kontributor
Majalah Play Boy Indonesia, koresponden Majalah Gatra di Kalbar.
Sekarang bekerja untuk Harian Borneo Tribune di Kalbar.
Mendapatkan penghargaan Mochtar Lubis Award 2008,
kategori Investigasi. Mendapat penghargaan Anugerah Adiwarta Sampoerna 2008,
kategori Investigasi Sosial. Menulis buku biografi Benyamin S, “Muka Kampung
Rejeki Kota” bersama Ludhy Cahyana (Yayasan Benyamin S, 2005). Menulis buku
“Di Balik Novel Novel Tanpa Huruf R” (LKiS, Yogyakarta, 2006).
0 komentar:
Post a Comment