Wednesday, April 29, 2015
0 komentar

Belajar Jurnalistik Kepada Dahlan Iskan

12:46 PM
Belajar Jurnalistik Kepada Dahlan Iskan
Ilustrasi. Belajar Jurnalistik
Belajar Jurnalistik dari Suheng Dahlan Iskan 1- 4
by : Joko Intarto

Mengenal “Rukun Iman Berita” (1)

Harus diakui, Dahlan Iskan adalah wartawan yang cerdas. Dia cerdas memilih angle, cerdas memilih kata, cerdas pula melibatkan emosi pembaca dalam tulisannya, sehingga pembaca bisa tertawa, terharu, sedih dan marah.

Banyak orang yang menyenangi gaya penulisan Dahlan. Penuturannya, logis, mengalir, ringan, gampang dimengerti, mencerdaskan dan menghibur. Hal-hal yang berat, rumit dan teknis, tiba-tiba menjadi mudah dicerna dalam tulisan Dahlan.

Penasaran dengan gaya penulisan itu, saya beranikan diri bertanya kepada Dahlan, pada suatu kesempatan di tengah malam. Kebetulan, Dahlan sedang asyik membaca koran Jawa Pos yang baru diambilnya dari percetakan “Gaya penulisan itu packaging-nya. How to say-nya,” jawab.

“Yang lebih penting sebenarnya adalah what to say-nya, atau rukun iman beritanya,” lanjut Dahlan.

Saya terkejut mendengar istilah “rukun iman” ada dalam dunia jurnalistik. Setidaknya, itu merupakan istilah baru buat saya yang baru bekerja satu bulan di Jawa Pos. “Rukun iman berita, maksudnya apa Pak Bos?” tanya saya.

“Wartawan baru ya? Sudah berapa lama?” tanya Dahlan. “Satu bulan Pak,” jawab saya. “Sudah ikut training?” Lanjut Dahlan. “Sudah Pak. Satu minggu,” jawab saya.

“Jadi sekarang percobaan? Berapa lama?” tanya Dahlan. “Tiga bulan Pak Bos,” jawab saya. “Selama tiga bulan, Anda harus ngapain?” tanya Dahlan. “Liputan, menulis berita, kemudian membawa naskah asli dan naskah yang sudah diedit redaktur ke kelas jurnalistik setiap malam,” jelas saya.

“Sudah pernah libur?” tanya Dahlan. “Belum Pak Bos. Peraturannya selama tiga bulan, tidak boleh libur, tidak boleh sakit, tidak boleh membolos, atau gugur,” jawab saya.

Dahlan tersenyum mendengar jawaban saya. “Di kelas jurnalistik, belum ada yang menjelaskan rukun iman berita?” tanya Dahlan. “Belum Pak Bos. Katanya, Pak Bos sendiri yang akan mengajar,” jawab saya.

“Oke, besok malam saya akan mengajarkan rukun iman berita,” janji Dahlan.

“Kenapa disebut rukun iman berita, Pak Bos?” tanya saya.

“Rukun iman, bagi muslim adalah sebuah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan. Apapun yang terjadi, harus dipegang teguh. Demikian pula dalam menulis karya jurnalistik. Ada yang harus dipegang teguh, tidak boleh ditinggalkan,” jelas Dahlan.

Setelah menutup koran yang dibacanya, Dahlan tampak serius menjelaskan “rukun iman berita”. Entah karena melihat saya yang antusias, atau memang Dahlan senang kalau ada yang mengajak diskusi.

“Rukun pertama, tokoh. Semua peristiwa menyangkut tokoh layak berita. Misalnya Gubernur Jawa Timur masuk rumah sakit karena demam berdarah. Ini layak diberitakan,” jelas Dahlan.

“Rukun kedua, besar. Semua peristiwa yang besar layak berita. Misalnya, gempa bumi menyebabkan kerugian yang besar. Ini layak berita,” lanjutnya.

“Ketiga, dekat. Semua peristiwa yang terjadi di dekat kita, meskipun kecil layak berita dibanding peristiwa serupa yang lebih besar tetapi di tempat yang jauh. Misal, gempa di Jember korbannya 10 orang lebih layak diberitakan, ketimbang gempa di Mexico yang menelan korban 100 orang. Kalau pun keduanya perlu diberitakan, gempa di Jember harus lebih besar dan lengkap,” tambah Dahlan.

“Keempat, yang pertama. Semua peristiwa yang baru pertama terjadi, layak berita. Misal, ada pencurian dengan modus baru yang baru pertama terjadi. Walau kerugiannya kecil, peristiwa itu layak berita,” kata Dahlan.

“Kelima, human interest. Semua peristiwa yang menyentuh perasaan kemanusiaan, layak diberitakan,” lanjutnya.

“Keenam, bermisi. Setiap berita harus memiliki misi atau tujuan. Misalnya, mencerdaskan, mendidik dan memotivasi masyarakat untuk kebaikan,” pesan Dahlan.

Menurut Dahlan, semua wartawan saat meliput peristiwa harus menemukan sebanyak mungkin rukun iman berita itu. Semakin banyak rukunnya, semakin layak beritanya. Demikian pula sebaliknya.

Bila rukun iman beritanya sudah memenuhi syarat kelayakan, langkah selanjutnya adalah menulis beritanya. “Besok di kelas jurnalistik kita bahas,” kata Dahlan.

Belajar Jurnalistik Kepada Dahlan Iskan
Ilustrasi. “Rukun Iman Berita” yang Tak Terlupakan

“Rukun Iman Berita” yang Tak Terlupakan (2)

Pada bagian tulisan diatas, sudah saya sampaikan enam “rukun iman” berita. Sudah habiskah? Belum dong. Masih ada empat rukun lagi, karena jumlahnya ada 10.

Rukun ketujuh, adalah unik. Semua peristiwa yang unik layak menjadi berita. Berita sapi sonok di Madura yang bisa menari dan suka makan roti, adalah contoh berita unik yang disukai pembaca.

Rukun kedelapan, disebut eksklusif. Berita-berita investigasi adalah contoh berita eksklusif yang tidak dimiliki media lain. Ini sangat layak menjadi berita. Pembaca pun menyukai berita-berita seperti ini.

Rukun kesembilan adalah tren, baik tren gaya hidup maupun tren prilaku. Ketika publik pada era 80-an demam dengan breakdance, media harus mau menulis berita-berita breakdance, agar pembaca mau mengikuti media.

Rukun kesempuluh adalah prestasi. Kisah-kisah keberhasilan seseorang, penemuan di bidang science, technology, menjadi berita yang makin digemari pembaca. Bahkan menjadi buku-buku motivasi yang mencatat best seller.

Dengan bekal ilmu rukun iman berita itu, saya mencoba mencari berita yang sesuai rukun iman. Ternyata, ilmu jurnalistik dari Dahlan itu ampuh betul.

Dari semua berita yang pernah saya tulisa, yang paling dramatik adalah kisah ibu dari Cilacap yang bertemu anak semata wayangnya, setelah berpisah 35 tahun.

Ceritanya ibu malang itu naik bus ke Mojokerto untuk menjemput jenazah suaminya yang meninggal kecelakaan di Mojokerto. Sesampai di Jombang, bus yang ditumpanginya bertabrakan. Ibu mengalami patah tulang belakang yang menyebabkan lumpuh dan koma.

Setelah 15 tahun dirawat di RSUD dr Soetomo, ibu itu sadar dari tidur panjangnya. Dua puluh tahun kemudian, kondisi ibu makin bagus. Ibu itu sudah bisa berbicara dan bisa mengingat bayinya yang dititipkan tetangganya saat meninggalkan desanya. Saat itulah saya bertemu dan menuliskan kisahnya.

Kisah yang saya tulis bersambung selama 4 hari itu rupanya dibaca seorang insinyur pertanian yang bekerja di Lampung. Setelah pertemuan sekitar satu jam, keduanya memastikan sebagai ibu dan anak.

Lelaki itu ternyata bayi yang 35 tahun lalu dititipkan tetangganya. Karena tidak ada kabar berita, bayi itu dibawa tetangganya, hidup sebagai transmigran dan diasuh layaknya anak sendiri.

Betul-betul sebuah pertemuan yang sangat membahagiakan sekaligus mengharukan. Saya pun tak sanggup menahan air mata.

Kejadian itu saya tulis 21 tahun lalu. Saya pun sudah lupa nama mereka. Tetapi tangis kebahagiannya masih membekas dalam ingatan saya.

Belajar Jurnalistik Kepada Dahlan Iskan
Ilustrasi. Tape Recorder Haram, Mencatat Makruh

Tape Recorder Haram, Mencatat Makruh (3)

Mencari dan mengumpulkan informasi adalah sebuah persoalan. Menuliskan informasi menjadi berita adalah persoalan lain. Masing-masing membutuhkan ilmu dan keahlian yang berbeda. “Bila mencari informasi menggunakan rukun iman berita, menulis berita menggunakan gaya penulisan,” jelas Dahlan Iskan, saat mengisi kelas jurnalistik untuk reporter baru Jawa Pos, 22 tahun lalu.

Gaya penulisan adalah teknik merangkai kata-kata sehingga informasi yang disampaikan bisa dimengerti pembaca. Gaya penulisan itu, lanjut Dahlan, sulit dijelaskan. Tetapi mudah dirasakan. “Kalau membaca berita Kompas, rasanya penuh informasi berat dan ilmiah. Sedangkan membaca Jawa Pos, rasanya ringan-ringan dan ngepop. Itu karena gaya penulisannya,” jelas Dahlan.

Ada dua gaya penulisan berita menurut Dahlan. Gaya pertama adalah “memberitakan”. Sedangkan gaya kedua adalah “menceritakan”. 

Gaya penulisan “memberitakan” cenderung kaku, to the point, dan kurang warna-warni. Contohnya:
Akibat rem blong, sebuah bus jurusan Jogja – Semarang menabrak warung makan milik Haji Kartoseno, di Jalan Diponegoro, Ambarawa, kemarin siang. Sebanyak 3 penumpang dilaporkan tewas. Sepuluh lainnya luka berat dan ringan.

Dalam gaya “menceritakan”, penulisan bebas berimprovisasi sehingga yang membaca lebih emosional. Misalnya:
Braaaaak! Pria berpeci hitam itu baru memesan soto, ketika sebuah bus sekonyong-konyong menabrak warung makan di Jalan Diponegoro. Padahal, warung soto milik Haji Kartoseno itu, sedang ramai-ramainya. Pria berpeci hitam itu tewas sebelum menyantap hidangan makan siangnya. Dua tamu yang duduk di samping pria berpeci hitam itu juga meninggal seketika. Sementara itu, sepuluh tamu lainnya sempat menyelamatkan diri. Namun, mereka mengalami cidera berat dan ringan.

Secara cultural, kata Dahlan, orang Indonesia lebih akrab dengan budaya cerita, ketimbang budaya membaca. Karena itu, gaya penulisan menceritakan juga disukai. Namun demikian, gaya memberitakan pun ada penggemarnya. “Dua-duanya benar secara jurnalistik, secara budaya dan secara bisnis. Kita tinggal pilih mau yang mana,” jelas Dahlan.

Agar berita mudah dimengerti, Dahlan menyarankan agar wartawan atau penulis belajar menyusun kalimat demi kalimat, alinea demi alinea dengan logika bertutur yang baik. “Jangan membuat kisah yang melompat-lompat. Itu membikin bingung pembaca dan redakturnya,” ujar Dahlan.

Sebuah berita juga harus memberi kenyamanan pembaca. Karena itu, kalimat sebaiknya tidak panjang-panjang. “Ukuran panjang dan pendek kan relatif. Bagaimana memastikan kalimat sudah terlalu panjang atau pendek?” tanya saya. “Bacalah sebuah kalimat dalam berita koran apa saja. Bila napas Anda sudah habis tapi tanda titiknya belum ketemu, itu kepanjangan.” Jawab Dahlan.

Langkah selanjutnya, gunakan kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Jangan sampai wartawan tidak bisa membedakan “di” yang digandeng dan “di” yang dipisah. Awalan “di” selalu digandeng untuk kata kerja pasif. Sedang “di” yang dipisah, menunjukkan keterangan tempat.

Perhatikan siapa yang akan membaca berita kita. Bila pembaca kita berpendidikan baik, maka buatlah berita yang tidak bombastis atau dilebih-lebihkan, biar kelihatan seru. Model berita ini hanya cocok untuk koran kuning atau koran berita kriminalitas. Demikian pula dalam pemilihan foto. Koran yang menyasar kelas menengah atas tidak suka dengan foto-foto vulgar dan sadis. “Ini lebih ke pemahaman wartawan terhadap psikologi pembacanya,” lanjut Dahlan.

Sebuah berita selalu diawali dengan sebuah kata atau kalimat yang disebut opening. Dahlan menyarankan agar wartawan atau penulis memulai dengan sesuatu yang menarik. “Teori jurnalistik lama mengajarkan kita agar memulai berita dengan sesuatu yang penting. Tapi pembaca ternyata lebih senang yang menarik,” kata Dahlan.

“Menemukan unsur menarik dalam proses pencarian berita sangat sulit. Apa saran Pak Bos?” tanya saya. “Jangan bawa alat perekam, catatlah sesedikit mungkin. Selebihnya, gunakan kemampuan pikiran Anda untuk mengingat data. Jadi, merekam dengan tape recorder hukumnya haram. Mencatat hukumnya makruh,” kata Dahlan.

Kebanyakan wartawan, memang menggunakan tape recorder untuk merekam pernyataan narasumber. Menurut Dahlan, cara ini tidak efisien dari sisi biaya dan waktu. Menggunakan tape recorder juga melemahkan kerja otak. Sebab, otak mempercayakan pada hasil rekaman itu, sehingga wartawan tidak bisa mengeksplorasi sebuah pernyataan menarik yang muncul di tengah wawancara. Wartawan baru sadar setelah mendengarkan rekamannya di kantor.

“Coba kalau tidak pakai tape recorder. Anda pasti mendengarkan pernyataan narasumber dan langsung mengejar bila ada statemen menarik di tengah wawancara. Itu salah satu fungsi istimewa otak kita. Karena sudah terekam di otak, maka seketika otak menganalisa rekaman. Mana yang menarik, mana yang penting akan langsung tahu. Begitu wawancara selesai, konsep beritanya pun sudah selesai di otak,” kata Dahlan.

Dahlan juga menyarankan agar sesedikit mungkin mencatat. Hanya hal-hal yang sangat rawan salah saja yang boleh dicatat. Tanggal dan tahun kelahiran narasumber, ejaan huruf nama dan pangkat narasumber, adalah yang boleh dicatat. Selebihnya, diingat-ingat saja. “Mencatat hukumnya makruh,” kata Dahlan.

Kalau berita sudah selesai ditulis, Dahlan mengingatkan agar wartawan membaca seluruhnya, minimal sekali lagi. “Saat membaca, jadilah orang yang paling bodoh. Bila orang paling bodoh saja bisa paham, maka berita itu sudah bagus,” pungkas Dahlan.

Belajar Jurnalistik Kepada Dahlan Iskan
Dahlan Iskan. Foto: Tempo.co

Berita yang Baik Menurut Dahlan Iskan (4)

Dalam kelas jurnalistik yang saya ikuti tahun 1991, Dahlan Iskan melontarkan sebuah pertanyaan sederhana. “Apakah kriteria berita yang baik?” tanya Dahlan.

Kami, para peserta yang jumlahnya 9 orang, menjawab bergantian. Ada yang menjawab berita yang baik adalah berita yang berdasarkan fakta. Ada yang menjawab berita yang baik adalah berita yang disajikan secara cepat, akurat dan memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik professional.

“Jawaban Anda semua hampir betul. Tetapi, itu hanya kriteria sebuah berita. Belum berita yang baik,” jawab Dahlan. “Berita yang baik adalah berita yang membuat koran Anda laku,” sambung Dahlan. Kami semua tertawa mendengar jawaban itu.

“Laku” menurut Dahlan harus dimasukkan dalam kriteria jurnalistik oleh wartawan. Sebab, bila tidak mempertimbangkan unsur “laku”, wartawan hanya berprinsip asal menulis saja, tanpa memikirkan aspek pasar.

“Padahal, wartawan butuh gaji. Mencetak butuh mesin. Mesin butuh listrik, tinta dan kertas. Koran butuh distribusi. Distribusi butuh margin. Semua harus diongkosi. Dari mana ongkosnya? Dari koran yang terjual,” jelas Dahlan.

Dengan memasukkan kriteria “laku” pada karya jurnalistik, wartawan dibiasakan untuk berpikir tentang efisiensi, efektivitas, produktivitas dan selera pasar. “Kalau koran tidak laku, sebabnya pasti karena empat hal. Pertama karena beritanya, kedua karena beritanya, ketiga karena beritanya, keempat karena pemasarannya,” lanjut Dahlan.

Bagaimana agar beritanya menjadikan korannya laku? “Wartawan harus mengetahui selera pasar. Rukun iman berita, adalah konsep berita dalam perspektif konsumen atau pasar. Jadi kalau wartawan menulis tanpa berpikir selera pasar, yang dihasilkan adalah koran yang tidak laku. Padahal, untuk membuat koran yang tidak laku itu, wartawan minta gaji. Percetakan minta ongkos. Distribusi minta keuntungan. Logika bisnisnya di mana?” kata Dahlan.

Agar mengerti bahwa karya jurnalistiknya dipertaruhkan di pasar, Dahlan sering mengajak wartawan keliling ke agen-agen pada waktu subuh. Saya tergolong yang sangat sering diajak Dahlan. Sebab, saya selalu tidur di balai-balai yang disediakan manajemen Jawa Pos untuk wartawan yang ingin beristirahat seusai menulis berita. Celakanya, Dahlan tergolong hobi pula tidur di situ.

“Di Jawa Pos ada dua Joko yang hampir setiap malam tidur di kantor. Pertama, Djoko Susilo. Kedua, Anda,” kata Dahlan suatu malam.

Djoko Susilo adalah wartawan senior Jawa Pos. Setelah lama bertugas di Amerika Serikat, Djoko kembali ke Indonesia dan bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN). Setelah menjadi anggota DPR mewakili partai berlambang matahari itu, Djoko menjadi duta besar di Swiss, sampai sekarang.

Joko Intarto, sebuah pengalaman pribadi


Sumber:
Belajar Jurnalistik dari Suheng Dahlan Iskan 1- 4 ditulis oleh Joko Intarto. Artikel ini kami salin sepenuhnya dari thedahlaniskanway.wordpress.com

0 komentar:

Post a Comment

 
Toggle Footer
Top