Thursday, April 30, 2015
0 komentar

May Day dan Cerita Miris tentang Jurnalis

10:47 AM
May Day dan Cerita Miris tentang Jurnalis
Aksi May Day. Foto: Tempo|Google

Tiap 1 Mei, kaum buruh sedunia memperingati hari buruh internasional yang akrab disebut May Day

Sejarah May Day berawal dari Amerika Serikat ketika buruh di negara industri itu mulai sadar untuk menolak eksploitasi berlebihan terhadap tenaga mereka. Saat itu, pada 1889, melalui perjuangan heroik dan berdarah-darah, buruh di Amerika bisa memperjuangkan agar mereka bisa bekerja maksimal hanya delapan jam tiap hari.

Hasil perjuangan berdarah ini kemudian adalah diterapkannya delapan jam kerja tiap hari sebagai standar perburuhan internasional. Maka, sejak 1 Mei 1890, kaum buruh sedunia pun menjadikan hari itu sebagai momentum untuk merayakan hasil perjuangan itu. Pada perjalanannya, May Day kemudian juga menjadi waktu untuk meneriakkan tuntutan agar buruh mendapat imbalan yang layak atas jerih payah mereka.

Di negara-negara yang hidupnya bergantung pada industri, May Day adalah hari libur. Buruh diberikan waktu untuk merayakan kebebasannya dari tekanan target kerja, meski hanya sehari. Sayangnya ini belum terjadi di Indonesia. Meski sudah terus dituntut, hari buruh belum menjadi hari raya bagi kaum buruh. Toh, ini tidak menghalangi buruh untuk tetap beraksi menuntut kehidupan yang layak untuk mereka.

Begitu pula hari ini di Bali. Sekitar 40 orang bergerak pelan dari tempat nongkrongnya para demonstran dan aktivis di Renon, Denpasar. Aku menyelinap di antara puluhan orang itu yang, sayangnya, hampir tidak ada elemen buruh sama sekali. Hampir semua adalah mahasiswa seperti Frontier, FMN, PMII, dan seterusnya. Hanya ada satu elemen buruh yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, organisasi di mana aku ikut di dalamnya.

Soal tidak adanya elemen buruh ini memang bukan hal aneh di Bali. Buruh di Bali beda karakter dengan buruh-buruh di Jawa. Asumsiku, bisa jadi karena beberapa alasan. Pertama karena buruh di Bali sebagian besar adalah buruh pariwisata, bukan buruh industri. Karena itu buruh di Bali biasa menghadapi manusia, bukan mesin. Maka, keramahtamahan adalah hal utama, meski juga lebih banyak untuk bule daripada untuk tamu lokal.

Kedua karena buruh di Bali sebagian besar tinggal di rumah sendiri, bukan kos. Tinggal bersama keluarga dan di rumah sendiri tentu berbeda dengan tinggal di kos dan terpisah dari keluarga layaknya buruh-buruh di Jawa. Ketiga, mungkin karena buruh di Bali rata-rata sudah mapan. Aku tidak pernah melakukan riset atau liputan khusus soal buruh. Namun sekilas di permukaan sih memang terlihat bahwa buruh di Bali lebih enak hidupnya di banding buruh di Jawa. Inilah yang mungkin membuat buruh di Bali tidak seradikal di Jawa.

Balik ke soal May Day hari ini. Masuknya AJI sebagai salah satu organ yang ikut aksi hari ini bagi sebagian orang juga mungkin aneh. Sebab bagi sebagian orang, wartawan tidaklah masuk kategori buruh. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bahkan pernah bilang dengan yakin bahwa jurnalis bukanlah buruh, tapi profesional.

Ini memang diskusi tidak berkesudahan. Makanya AJI, misalnya, menempatkan diri pada dua sisi itu: profesional sekaligus buruh. Karena pekerjaannya terikat oleh sebuah kode etik dan hasil pekerjaan itu harus dipertanggungjawabkan secara profesional, maka jurnalis adalah profesional seperti halnya dokter dan pengacara. Namun, karena jurnalis bekerja pada sebuah perusahaan media, maka jurnalis adalah buruh. Inilah yang harus disadari. Karena itu, sebagai sebuah serikat pekerja pers, AJI juga ikut dalam setiap aksi May Day.

May Day dan Cerita Miris tentang Jurnalis
Jurnalis juga buruh. Foto: Kampanye memperjuangkan hak-hak jurnalis. | Fotoblur.com

Sebab, kenyataannya, jurnalis memang buruh. Bahkan seringkali kondisinya jauh lebih parah dibanding buruh industri lain seperti pabrik elektronik, pakaian, dan seterusnya.

Di balik koran yang kita baca tiap hari, di balik TV yang kita tonton setiap hari, di balik portal berita yang kita santap tiap saat, tersembunyi kisah miris jurnalis sebagai buruh yang jarang sekali terangkat.

Pertama, jurnalis bekerja tidak dalam waktu yang tetap. Berbeda dengan buruh lain yang terikat jam kerja delapan jam tiap hari, maka jurnalis tidak seperti itu. Mereka bekerja dari pagi sampai malam. Mulai rapat perencanaan, liputan, menulis, evaluasi, hingga nunggu tulisan selesai dibaca dan diedit redaktur. Ini di luar tugas sewaktu-waktu kalau ada kejadian mendadak dan besar. Misalnya bom Bali beberapa waktu lalu.

Aku sendiri tidak pernah bekerja di media harian seperti ini karena sadar bahwa sistem di sana sangat tidak adil. Aku hanya pernah bekerja sebagai koresponden media nasional dan kini totally freelance. Namun melihat dan mendengar cerita teman-teman sendiri, cukuplah membuatku yakin bahwa sistem kerja di sebagian besar media harian memang tidak manusiawi.

Kedua, jurnalis juga tidak bekerja di ruang yang tetap layaknya buruh lain. Kecuali ketika sudah jadi redaktur yang kerjanya lebih banyak mengedit, maka jurnalis akan lebih banyak di lapangan. Mereka bergerak dari satu tempat ke tempat lain setiap hari. Jurnalis di bidang kriminal dan hukum misalnya harus pontang-panting dari kantor polisi, tempat kejadian perkara (TKP), pengadilan, kejaksaan, dan seterusnya tiap hari. Ini yang jurnalis di media lokal.

Kalau koresponden kayak aku dulu, maka harus siap-siap dalam sehari jalan dari pagi di Ubud, siang di Denpasar, sore di Pecatu. Atau dalam seminggu harus siap ke berbagai kabupaten di Bali. Akibatnya sebagian besar wartawan rentan mengalami kecelakaan saat kerja.

Ketiga, dan inilah ironisnya, meski bekerja dalam tuntutan dead line tinggi, waktu tidak tentu, dan rentan mengalami kecelakaan itu, sebagian besar digaji rendah. Yap, cukup atau tidak memang relatif. Namun bagiku gaji ini tidak sebanding dengan banting tulang yang harus dilakukan.

Sebagai gambaran, ketika baru masuk di salah satu media di Bali, gaji wartawannya Rp 700 ribu. Menurut suvei AJI Indonesia pada 2006 lalu, gaji wartawan di Denpasar rata-rata masih di bawah Rp 1,5 juta per bulan. Gaji ini nanti harus dipotong dengan bensin sepeda motor, biaya telepon, dan keperluan liputan lain. Syukur-syukur kalau pengeluaran ini bisa diklaim. Kalau tidak, wa’alaikum salam saja. Silakan nangis..

Di tingkat redaktur pun tidak jauh berbeda. Kalau tidak salah gajinya pun berkisar Rp 2 juta atau sekitarnya per bulan. Menurutku termasuk kecil dengan tuntutan kerja yang besar.

Paling parah dari itu semua, menurutku, adalah kurangnya waktu bagi wartawan untuk mengembangkan diri. Jurnalis, bagiku bukanlah hanya tentang bagaimana memproduksi informasi. Dia juga berhubungan dengan bagaimana kita mencerna sesuatu untuk lalu disampaikan pada orang lain. Ada proses sintesis dalam kerja-kerja jurnalis. Karena itu, sangat penting untuk mengetahui latar belakang sesuatu lebih dalam. Membaca buku adalah salah satu cara untuk mengetahui itu.

Sayangnya sebagian besar wartawan terlalu sibuk bekerja. Tidak ada lagi waktu untuk membaca buku.

Begitu pula untuk diskusi atau pelatihan untuk isu tertentu. Pada masa aku masih aktif di AJI Denpasar, selalu saja susah untuk mengajak wartawan berdiskusi untuk isu tertentu atau ikut pelatihan. Apalagi kalau mengajak wartawan media lokal. Rata-rata redaktur mereka tidak mengizinkan. Biasanya karena pekerjaan banyak sementara wartawannya sedikit.

Ironisnya, meski demikian miris ceritanya wartawan lebih banyak diam. Bisa jadi karena tidak banyak pilihan. Pekerjaan sebagai wartawan rata-rata hanya karena lowongan itu yang ada saat mereka menganggur. Maka melamarlah mereka. Daripada tidak ada pendapatan sama sekali, tentu lebih baik mendapat gaji tetap meski tidak seberapa.

Salah satu jalan keluar agar wartawan bisa mendapat upah yang layak adalah melalui serikat pekerja pers. Wartawan di tiap media harus membuat serikat buruh sehingga bisa menekan manajemen atau setidaknya menaikkan posisi tawar. Toh, sayangnya, meski sudah difasilitasi berkali-kali, wartawan toh tetap saja enggan membentuknya. Biasanya karena takut. Sebab sebagian wartawan memang malah dipecat ketika membentuk serikat buruh. Bisa jadi karena serikat buruh sudah kadung identik dengan komunis. Ah, ini cerita usang yang masih saja terulang.

Maka, jalan terakhir, wartawan pun hanya bisa diam. Lalu menikmati semua sistem kerja yang tidak adil itu. Wartawan paling pintar koar-koar mengkritik banyak hal. Namun, mereka sendiri diam dalam penindasan manajemennya...!

May Day dan Cerita Miris tentang Jurnalis
May Day; the celebration of workers of whole world.

Penulis:
Anton Muhajir. Jurnalis lepas dan editor. Tinggal di pinggiran Denpasar Utara, Bali.

Bekas Koresponden GATRA di Bali (2001-2006). Tulisan dalam bentuk feature, indepth report, maupun opini pernah dimuat di Majalah FORBES Indonesia, The Jakarta Globe, The Jakarta Post, Appetite Journey, Playboy Indonesia,  Rolling Stone Indonesia, dll. Menulis juga di beberapa buku, antara lain Warga Bicara Media: Sepuluh Cerita (HIVOS, CIPG, & Ford Foundation, 2012), Wisata Jajan Bali (Intisari, 2009), Where to Go Bali (Intisari, 2010), Wajah Retak Media (AJI Indonesia, 2009), Demokratisasi di Udara, Peta Kepemilikan Radio dan Dampaknya bagi Demokratisasi (LSPP Jakarta, 2007), dan lain-lain.

Hingga sekarang masih tercatat sebagai anggota Bali Blogger Community (BBC) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Email: anton@nawalapatra.com


Tulisan lama yang tercatat diposting pada 1 Mei 2008 ini kami posting kembali sebagai tambahn informasi mengenai Hari buruh dan dunia Jurnalis. Meskipun sudah lama, namun tulisan ini masih relevan (kasarnya masih banyak Junalis di Indonesia mengalami hal serupa seperti yang ditulis dalam artikel diatas).

Sumber:

0 komentar:

Post a Comment

 
Toggle Footer
Top