Monday, December 29, 2014
One komentar

Etika Publikasi Karya Fotografi

10:39 AM
Etika Fotografi
Etika Publikasi Karya Fotografi. Foto: Pameran Foto "Jakarta Berkacalah" | Okezone
Tidak dipungkiri lagi, perkembangan minat atas fotografi terus menanjak. Entah itu mulai dari pekerjaan atau bahkan hanya sekedar hobi motret. Tapi dalam dunia fotografi tidak hanya asal jepret, dalam dunia fotografi juga ada etikanya. Etika publikasi / kode etiknya.

Kode Etik Fotografer (Mamuk Ismantoro.. CMIIW)

1. Etika memotret ruang publik, harus melihat situasi dan kondisi dari negara dan tempat bersangkutan, dibeberapa negara terdapat larangan untuk memotret anak kecil yang berlarian di jalan, contohnya Australia, karena sangat takut jika terjadi eksploitasi anak. Berbeda dengan di Indonesia yang bisa dengan bebas candid anak kecil.

2. Ingatlah ketika memotret orang, artinya kita memasuki area privacy orang tersebut, cobalah untuk meminta izin terlebih dahulu dan sampaikan maksud kita dalam mengambil gambar, apakah untuk komersil atau hanya sebagai dokumentasi pribadi.

3. Untuk memotret kejadian-kejadian seperti kecelakaan, bencana dan tragedi lainnya, para jurnalis biasanya memiliki akses sendiri (kode etik jurnalistik) yang diatur dalam UU no 40/1999 PERS dan KEJ _banyak pasalnya_.

4. Street foto merupakan style foto yang paling memasuki ruang publik, biasakan untuk meminta izin kepada petugas lapangan (polisi) dan sampaikan maksud kita. INGAT, jika foto tersebut merupakan foto komersil maka izin tersebut biasanya tidak GRATIS.

5. Untuk memotret ruang publik lainnya, etika jurnalistik membolehkan kita memotret rumah seseorang, kantor atau mall jika mereka terlibat dalam sebuah kasus yang layak dan berhak untuk diketahui publik. Misal layak dan berhak itu, jika sebuah institusi/orang punya masalah yg dampaknya merugikan banyak orang, seperti pencemaran limbah, untuk itu biasanya kita akan dijinkan mengambil gambar sebatas pemotretan pada kawasan yang dituju tanpa melibatkan oknum-oknum yang terkait.


Bolehkah kita menampilkan foto korban yang penuh luka, atau foto pelaku yang ususnya terburai tanpa diblur sebelumnya? Apakah etis menampilkan korban yang penuh darah? Etiskah menampilkan foto Disturbing picture ke khalayak umum?

Menurut saya, itu sama sekali nggak etis. Kalau saya jadi korban, saya nggak rela tubuh saya dijadikan komoditi, apalagi yang sedang penuh luka. Dari sisi pembaca, saya males lihatnya. Bukannya mau lihat, malah mual pengen muntah. Kalau gambarnya diblur, terutama di bagian yang penuh darah sih oke-oke saja. Tapi kalau sampai lukanya diperlihatkan, ga deh…

Menurut saya, gambar2 semacam itu memang dibutuhkan untuk suatu keperluan tertentu seperti yang dilakukan oleh para team forensik tadi, namun kalau sekarang urusannya dipamerkan di muka umum, maka kondisinya akan berbeda.

Etika umumnya, tidak diperkenankan menampilkan gambar korban yang rusak seperti itu di berbagai media2 untuk umum, sekalipun harus ditampilkan biasanya di sensor atau jika memang harus ditampilkan di media lain untuk keperluan tertentu tanpa sensor, biasanya si penampil wajib memberikan keterangan dan peringatan di awal bahwa gambar yang akan ditampilkan berpotensi menimbulkan ketidak nyamanan dan gangguan bagi si pemirsa yang akan melihat.  

Dari teknis foto jurnalistik sendiri, biasanya foto yang menampilkan darah akan dibuat menjadi hitam putih, hal ini untuk mengurangi efek psikologis bagi yang melihat, warna merah dari darah biasanya akan mendatangkan gangguan tersendiri bagi yang melihat….

Seperti itulah etikanya.


Sumber:
Baim "Learning by Doing and Speaking by Thinking"

Sumber referensi:

1 komentar:

  1. Tulisan yang ringan dan informatif. terimakasih infonya.

    ReplyDelete

 
Toggle Footer
Top