Friday, February 13, 2015
0 komentar

HPN, Tinjauan Historis dan Substansinya bagi Jurnalisme

7:42 PM
HPN, Tinjauan Historis dan Substansinya bagi Jurnalisme
Logo Hari Pers Nasional (HPN) Kepulauan Riau 2015.
Senin 09 Februari 2015 ini perhatian public media bakal tertuju ke Kota Batam. Di kota yang berdekatan dengan Singapore itu dilaksanakan iven tahunan yang menyedot dana miliaran rupiah. Sejumlah bos media tanah air, serta para pejabat bakal duduk bersanding dalam kemewahan Hari Pers Nasional atau HPN.

Sebagai salah satu organisasi profesi, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim yang mengekang kebebasan pers, tetap konsisten menolak penyelenggaraan HPN tersebut. Alasannya? Setidaknya ada beberapa hal yang mendasari penolakan itu, mulai dari tinjauan historis, substansi pelaksanaan HPN, serta kaitannya dengan kondisi kekinian para pekerja pers di Indonesia.  
      
Penetapan tanggal 09 Februari sebagai HPN dibuat melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985. Penetapan itu mengusik banyak orang. Pasalnya, pers Indonesia lahir jauh hari sebelumnya Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan negeri yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini. Taufik Rahzen, salah seorang yang gelisah dengan itu. Rahzen menelusuri sejarah itu, kemudian membukukan penelitiannya dalam buku 100 Tahun Pers Nasional. Rahzen kemudian membuat simpulan bahwa mestinya hari kelahiran pers nasional itu ditandai tonggaknya dari terbitnya Medan Prijaji pada 1 Januari 1907.

Dari penelusuran Taufik, diketahui Medan Prijaji, koran berbahasa Melayu sudah terbit di Bandung pada 1 Januari 1907. Koran ini adalah koran yang dibidani Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Karenanya, menurut Taufik, seharusnya Hari Pers Nasional diperingati pada 1 Januari.

Harian ini memang bukan koran yang pertama kali terbit di bumi Nusantara. Sebelumnya banyak koran yang sudah terbit di Hindia Belanda, nama Indonesia di bawah jajahan Pemerintah Kolonial Belanda. Namun, menurutnya, Medan Prijaji adalah koran nasional pertama. Alasannya, semua awak koran tersebut adalah pribumi dan koran tersebut yang pertama menggunakan bahasa Melayu.

Pendapat Taufik dibantah oleh peneliti sejarah di Universitas Leiden, Belanda, Surjadi. Dalam kolomnya yang dimuat di Harian Padang Ekspres, 6 Oktober 2007, Suryadi menyebut bahwa terlalu berlebihan menempatkan Medan Prijaji sebagai tonggak pers nasional. Ia mengatakan Medan Prijaji bukanlah koran nasional pertama. Jauh sebelum Raden Mas Tirto Adhi Soerjo menerbitkan Medan Prijaji, pada 1894-1910 di Sumatera telah terbit banyak koran berbahasa Melayu yang digawangi Dja Endar Moeda. Sebelumnya pula di Padang, pada 1890-1921, Mahyudin Datuk Sutan Maharadja telah menerbitkan enam koran berbahasa Melayu.

Sumber lain seperti yang ditulis Andreas Harsono dalam blognya. Saya menelusuri blog tersebut. Sebuah postingan dengan judul “Polemik Sejarah Pers Indonesia.” Juga buku Andreas yang berjudul “Agama Saya Adalah Jurnalisme”, pada halaman 63 dengan topik, Pers, Sejarah, dan Rasialisme.   Perdebatan untuk menentukan tonggak berdirinya pers Indonesia adalah, tentang kriteria pers Indonesia atau pers nasional itu sendiri. Apakah yang disebut pers Indonesia, itu koran pertama yang lahir di tanah Indonesia (dulu disebut Hindia Belanda),  atau koran berbahasa Indonesia (melayu) pertama, ataukah dimiliki dan diasuh oleh orang pribumi?

Jika mengacu pada kriteria pertama, menurut Andreas, maka suratkabar Bataviasche Nouvelles yang terbit tahun 1744-1746 atau 150 tahun sebelum Medan Prijaji, sebagai penerbitan pertama di Batavia. Jika ukurannya bukan Bahasa Belanda dan Bahasa Jawa, maka Andreas juga menyebut ada Tjahaja Siang di Minahasa yang terbit tahun 1868, atau Bintang Timoer (1865) yang terbit di Padang.

Maka kesimpulannya, jika kita hendak merumuskan kembali kapan pers nasional lahir sebaiknya dimulai dengan menentukan kriteria pers nasional tertua.

Benarkah HPN jatuh pada 9 Februari? Pertanyaan singkat ini selalu dipertanyakan setiap tahunnya. Asal muasalnya adalah karena tanggal 9 Februari hanyalah hari lahirnya PWI. Diketahui, PWI bukanlah organisasi wartawan pertama di Indonesia. Dari pelacakan sejarah kita dapat menemukan bahwa jauh sebelum PWI sudah lahir organisasi wartawan di masa perjuangan melawan kolonialisme, yaitu: Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang dipelopori oleh Mas Marco Kartodikromo pada tahun 1914, Sarekat Journalists Asia (1925), Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), dan Persatoean Djurnalis Indonesia (1940). PWI sendiri baru lahir pada 9 Februari 1946.

Hari lahir PWI menjadi naik kasta menjadi hari pers yang diperingati secara nasional karena peran Menteri Penerangan Harmoko yang merayu Presiden Soeharto untuk menetapkannya sehingga sejak 1985 HPN diperingati di tanggal tersebut.

Lagipula penetapan HPN yang dilakukan saat PWI masih menjadi satu-satunya organisasi tunggal untuk wartawan sebagaimana keinginan rezim orde baru. Padahal sesudah rezim orde baru tumbang sudah lahir banyak organisasi wartawan berskala nasional. Saat rezim orde baru berkuasa sekumpulan wartawan yang memprotes pembredelan Tempo, Editor dan Detik, di tahun 1994, mendirikan organisasi wartawan alternatif yang diberi nama AJI. Saat Soeharto jatuh tahun 1998, PWI pecah menjadi dua dengan lahirnya PWI Reformasi. Juga diikuti berdirinya Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).

Lahirnya HPN yang merujuk pada hari lahir PWI juga dirasa ahistoris dengan sejarah terbitnya pers pertama kali di Indonesia. Terdapat beberapa surat kabar yang terbit sebelum merdeka, baik sesudah tahun 1900 atau sebelumnya yang dapat dipertimbangkan sebagai embrio atau perintis pers nasional.

Pengkajian dan pelurusan sejarah pers nasional penting, agar publik tidak bingung dengan perkembangan pers Indonesia. Sejarah pers Indonesia tidak dimulai dari lahirnya organisasi pers (PWI). Apalagi dalam sejarah orde baru, organiasi ini justru menjadi bagian dari rezim yang mengontrol kebebasan pers, tunduk dan mengamini seluruh tindakan pembredelan pemerintah. Bukannya memberikan pembelaan terhadap para jurnalis yang terancam dikeluarkan dari tempat kerja karena menjadi anggota AJI, justru mendorong agar jurnalis anggota AJI diberi sanksi.

Selain berbicara dari aspek sejarah,  pelaksanaan iven HPN juga secara substansi tidak memberikan kontribusi yang besar bagi kehidupan pers di Indonesia. Selain lebih banyak menghambur-hamburkan uang rakyat untuk acara seremonial yang megah. Di sisi lain, tidak ada kontribusi yang berarti bagi peningkatan mutu jurnalisme di Indonesia baik menyangkut kekebasan pers, perlindungan terhadap jurnalis, serta kesejahteraan pekerja pers itu sendiri.

Kita mungkin belum lupa ketika HPN digelar di Manado tahun 2013 lalu. Sama seperti yang digelar di daerah lain setiap tahunnya, termasuk di Batam tahun 2015 ini.  Kucuran dana miliaran rupiah dari APBN dan APBD mengalir deras untuk kegiatan seremonial yang justru malah diprakarsai, digerakkan dan didominasi penyelenggaraannya oleh pemerintah. Tak heran memang, karena pemerintahlah yang memegang aliran dana. Tak hanya pemerintah yang bersanding di sana, tapi juga para petinggi dan pemilik media di Indonesia. Juga kelompok pers lain yang ikut menikmati pembagian “kue” HPN.   

Sepanjang tahun 2014, AJI mencatat, ada enam kasus kekerasan yang dilakukan polisi terhadap jurnalis.

Kasus tersebut terjadi di Surabaya, Jayapura, Medan, Makassar dan Jakarta. Dan seperti kasus-kasus kekerasan yang dilakukan polisi sebelumnya terhadap jurnalis, tidak ada penyelesaian yang menurut hukum yaitu ke jalur pengadilan.

Total ada 40 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2014 ini. Angka kekerasan boleh jadi stagnan dibanding tahun lalu, namun kualitas makin meningkat. Intimidasi, ancaman, telepon gelap, teror, pelecehan, pemukulan, pengusiran, pelarangan liputan, perusakan kantor hingga perampasan kamera masih terus terjadi.

Kasus yang paling menonjol terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 13 November 2014, ketika terjadi demonstrasi penolakan kenaikan BBM di Universitas Negeri Makassar. Sejumlah jurnalis yang melakukan peliputan penyerangan polisi pada mahasiswa justru membuat polisi marah dan mengalihkan serangan pada jurnalis.  Setidaknya ada 10  jurnalis yang mengalami luka akibat penganiayaan itu. Empat diantaranya melaporkan kasusnya pada polisi, dan sampai saat ini berjuang untuk menuntaskan kasusnya.

Selain polisi, pelaku lainnya adalah warga sipil, politisi, PNS, Satpol PP dan TNI. Terlihat ada tren kekerasan menjadi cara untuk menyelesaikan kasus pemberitaan media.

Tahun 2014 adalah tahun kelabu untuk pengungkapan kasus kekerasan terhadap jurnalis. Upaya mengungkap kasus pembunuhan jurnalis harian Bernas Yogyakarta, Muhammad Fuad Syafrudin alias Udin yang masuk kadaluwarsa tak mendapat respons kepolisian. Padahal kasus ini diharapkan menjadi pintu masuk mengungkap tujuh pembunuhan jurnalis lainnnya.

Ketujuh jurnalis itu adalah Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat tewas 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press tewas di Timor-Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaludin (jurnalis TVRI di Aceh, tewas 17 Juni 2003), Ersa Siregara (jurnalis RCTI tewas 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis tabloid Delta Pos, tewas 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal Merauke, tewas 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas 18 Desember 2010). Namun sejauh ini, polisi abai, negara pun abai, membiarkan pelaku kekerasan melenggang bebas.

Ancaman terhadap kebebasan pers bukan hanya dengan cara kekerasan. Tahun 2014 ini juga jadi saksi ancaman terhadap kebebasan pers muncul dari penanggung jawab media itu sendiri. Tahun Pemilu membuat pemilik atau penanggung jawab media terlibat dalam pertarungan dalam pemilihan presiden.

Tahun 2014 ini, AJI memutuskan Musuh Kebebasan Pers adalah penanggung jawab berita di stasiun televisi MNC Group, tvOne dan MetroTV. Menurut AJI, para penanggung jawab redaksi itu telah menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan partai dan kelompok. AJI menemukan, praktik oligopoli media massa membuat opini masyarakat juga dikontrol oleh sekelompok kecil pemilik atau penanggung jawab media.

Kondisi buruk atas profesi jurnalis juga termasuk soal kesejahteraan jurnalis. Ribuan jurnalis saat ini berstatus kontributor atau koresponden, tanpa hubungan kontraktual dengan media yang mempublikasikan karyanya. Mereka tak memiliki jaminan sosial, jaminan kesehatan dan jaminan hari tua. Sebagian besar dari mereka juga tak diikutkan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional dan BPJS yang merupakan kewajiban setiap perusahaan yang mempekerjakan mereka.

AJI baru saja menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Bogor, 6 – 8 Februari 2015 kemarin. Salah satu hal yang menjadi pembahasan dalam Rakernas itu adalah terkait pelaksanaan HPN. Ada beberapa alternative dalam menetapkan waktu yang pas dan bisa diterima semua pihak terkait peringatan HPN. Misalnya saat munculnya Koran pertama berbahasa Melayu Medan Prijaji tanggal 01 Januari, atau mungkin mengikuti hari kebebasan pers internasional 03 Mei. Diharapkan penetapan HPN ini kemudian bisa diterima semua insan pers di Indonesia. Sikap AJI tegas, bahwa perayaan 9 Februari 2015 adalah Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia. Tidak tepat menyebutkan hari lahir organisasi wartawan di atas dijadikan tonggak sejarah hari pers nasional. AJI mendesak kepada pemerintah untuk mengkaji ulang penetapan HPN dengan membatalkan Keppres nomor 5 tahun 1985 yang menjadi dasar penetapan HPN.

Lebih dari itu, HPN diharapkan tentu tak sekadar seremonial apalagi menghamburkan dana rakyat dari APBN dan APBD. Untuk soal dana ini, hingga Kongres IX di Bukittinggi Desember 2014 lalu, AJI masih tetap konsisten untuk menolak bantuan pemerintah baik melalui APBN dan APBD, ataupun sumber lainnya.

Momentum HPN juga bisa menjadi posisi tawar yang kuat bagi seluruh insan pers dalam memperjuangkan kekebasan pers, serta mendesak pemerintah memberikan jaminan perlindungan bagi pekerja media, menghentikan kriminalisasi pers, serta mengusut tuntas kasus kekerasan dan pembunuhan wartawan di Indonesia.(***)

HPN, Tinjauan Historis dan Substansinya bagi Jurnalisme
Ketua AJI Manado, Yoseph E Ikanubun. Foto: Manadosatu

HPN, Tinjauan Historis dan Substansinya bagi Jurnalisme
Oleh: Yoseph E Ikanubun, Ketua AJI Manado Periode 2012 - 2015



Sumber: Manadosatu

0 komentar:

Post a Comment

 
Toggle Footer
Top