Tuesday, March 31, 2015
0 komentar

Dalam Bayang-Bayang Rezim Media

5:36 AM
Dalam Bayang-Bayang Rezim Media
Cover buku Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam Industri Televisi
Satu diktum kontemporer dengan tegas mengatakan: “Siapa yang menguasai televisi, akan menguasai dunia”. Tahun-tahun belakangan, kalimat tersebut semakin mendapatkan afirmasinya.

Sempatkan untuk menonton televisi di sela-sela kesibukan Anda. Di sana, kita akan melihat berjejalnya wajah-wajah yang setiap hari mengumbar janji-janji perubahan. Dari presiden, menteri, jenderal, sampai pemilik media, seolah berlomba menampilkan wajahnya melalui iklan politik di televisi. Wajah-wajah yang kadang sama sekali tidak memiliki makna bagi kehidupan kita.

Seiring dengan angin demokratisasi yang berhembus kencang, televisi malih rupa menjadi medan kontestasi kekuasaan antaraktor politik di Indonesia. Tentu, kekuasaan dalam konteks ini tidak lagi dimaknai sebagai kepemilikan atas kekuatan politik saja. Merujuk Michel Foucault, kekuasaan dilihat sebagai sebuah praktik sosial yang terjadi di mana-mana dan berlangsung setiap saat.

Ia berlangsung dalam praktik sehari-hari melalui serangkaian norma, peraturan, dan mekanisme pendisiplinan. Perang perebutan kekuasaan berlangsung secara terbuka. Dalam kotak ajaib ini, berbagai kepentingan saling bertemu untuk bertarung dan bertubrukan untuk mendapatkan pengaruh, dominasi, sampai hegemoni atas ruang publik. Benturan ini akan semakin masif karena pendulum kekuasaan di negeri ini telah berayun dari rezim negara (state regime) ke rezim media (media regime).

Beberapa pemikir telah menunjukkan bagaimana tesis perubahan kekuasaan tersebut terjadi ketika demokrasi liberal cenderung untuk berselingkuh dengan kekuatan pasar. Perselingkuhan ini melahirkan pemusatan kepemilikan media yang dikenal dengan istilah konglomerasi. Pada akhirnya, para pemilik media ini memperoleh laba melalui “akumulasi primitif” yang tidak didapatkan melalui persaingan pasar.

Ben Bagdikian sudah lama mengingatkan hal ini. Dalam buku The Media Monopoly yang pertama kali terbit di awal dekade 1980-an, ia melihat bagaimana proses pemusatan kepemilikan media terjadi di Amerika Serikat. Selain berkonsekuensi terhadap persaingan ekonomi, media–dalam istilah Bagdikian–telah menjadi “the authority” yang menentukan kebenaran dan realitas di masyarakat. Temuan Bagdikian ini menjadi kacamata klasik untuk mencandrakan fenomena konglomerasi media dan efeknya.

Pada dekade yang sama, Herbert Altschull menegaskan temuan tersebut. Dalam bukunya Agents of Power (1984), ada kalimat menarik yang saya kira bisa digunakan untuk meringkas efek konglomerasi: “The content of the media always reflect the interest of those who finance them”. Dengan nada bercanda, ungkapan ini kerap dianggap sebagai hukum kedua jurnalisme. Bahkan Robert McChesney melalui bukunya Rich Media Poor Democracy (1997) secara lebih jauh mengatakan, bahwa konglomerasi berperan dalam memiskinkan demokrasi.

Sementara dalam studi yang lebih baru, kita bisa membaca After Broadcast News: Media Regimes, Democracy, and the New Information Environment karya Bruce A. Williams dan Michael Delli Carpini (2011). Buku ini melihat bagaimana perubahan lingkungan sosial-politik sampai struktur ekonomi menjadi unsur hara yang menyuburkan (dan melestarikan) rezim media. Beberapa kajian tersebut hanya menjadi sedikit dari banyaknya literatur yang membahas efek konglomerasi.

Ironisnya, masih sedikit buku yang memusatkan perhatian tentang isu ini di Indonesia. Ia hanya mewarnai beragam jurnal, makalah, dan penelitian yang tidak benar-benar menjadi arus utama dalam agenda akademik tentang kajian media di tanah air. Padahal, derap langkah konglomerasi semakin tegap. Pada titik inilah buku Iswandi Syahputra berjudul Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam Industri Televisi menjadi menarik. Ia mencoba melihat keberadaan rezim media dari pengalaman Indonesia.

Komodifikasi Kepentingan Publik

Iswandi mengatakan bahwa media, khususnya televisi, telah menjadikan kepentingan publik sebagai komoditas ekonomi politik pemilik media. Televisi memiliki kekuatan untuk menentukan nalar berpikir, berpendapat, sampai gaya hidup masyarakat. Kontrol tersebut mewujud melalui praktik wacana dan pembentukan opini publik (halaman 14). Salah satu komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ini melihat praktik tersebut melalui dua dinamika diskursif yang berkembang di Indonesia pasca Reformasi.

Pertama, tegangan antara televisi sebagai entitas sosial dan entitas ekonomi yang muncul dalam persoalan infotainment. Tegangan ini berjalin-kelindan dengan industrialisasi media, praktik jurnalistik, otoritas negara, dan implikasinya bagi khalayak. Tegangan tersebut pada akhirnya sampai pada titik kompromi yang memunculkan rumus komodifikasi: berita menjadi gurauan atau hiburan, dan berita dimunculkan dengan penuh sensasi.

Jika dilacak ke belakang, infotainment pada dasarnya merupakan bentuk adaptasi informasi “berat” agar bisa diterima oleh masyarakat. Gempuran informasi “berat” akan membuat publik sampai pada ambang batas kejenuhan. Hal ini bisa digunakan untuk menjelaskan mengapa infotainment menjadi salah satu tayangan televisi yang digemari di Indonesia, meski kerap melanggar etika jurnalistik. Faktanya, sampai saat ini setidaknya terdapat 26 tayangan infotainment dengan waktu penayangan sebanyak 116 kali dalam seminggu (halaman 97).

Kedua, terabaikannya kepentingan publik oleh televisi. Alih-alih menjadi warga yang berpartisipasi aktif, warga malah menjadi konsumen pasif. Perubahan menjadi konsumen ini sedikit banyak diakibatkan rasionalitas dan independensi publik di negara berkembang seperti Indonesia belum begitu kuat. “Meletakkan publik sebagai konsumen melalui cara-cara yang terkesan demokratis,” ungkap Iswandi, “adalah praktik invisible hand dari berkuasanya kapitalisme media (halaman 171).”

Iswandi, dengan mengutip Paul Johnson, menyebut setidaknya ada tujuh penyimpangan televisi yang telah menjelma menjadi rezim media. Rezim ini menjadikan berita sebagai laku konstruksi atas realitas seperti yang mereka inginkan. Sederhananya, berita kemudian bukanlah refleksi atas realitas, melainkan realitas itu sendiri. Tujuh penyimpangan itu adalah distorsi informasi, dramatisasi fakta palsu, mengganggu privasi, pembunuhan karakter, eksploitasi seks, meracuni benak/pikiran anak, dan penyalahgunaan kekuasaan.

Arogansi rezim dengan berbagai penyimpangannya tersebut dimungkinkan karena televisi memiliki kekuatan yang luar biasa. Kekuatan audio-visual televisi membuatnya jauh lebih berpengaruh bila dibandingkan media lain seperti koran, majalah, atau radio. Apalagi, ia menggunakan frekuensi milik publik dalam menyiarkan informasi. Jumlah frekuensi yang terbatas namun dengan daya jangkau luas membuat televisi mampu meraih publik yang tidak memiliki kekuatan untuk menolaknya.

Analisis Ekonomi-Politik

Dengan bahasa yang renyah dan kaya konsep analisis, buku ini mengajak kita agar lebih kritis dalam melihat praktik dunia pertelevisian di Indonesia. Sayang, ada kekurangan mendasar yang segera bisa terbaca dari buku ini. Pencandraan atas fenomena konglomerasi mengabaikan analisis atas situasi ekonomi-politik di Indonesia sejak era Orde Baru. Hal ini tentu penting dilihat karena industrialisasi televisi bermula di era itu dan berpartisipasi memunculkan rezim media yang predatoris seperti saat ini.

Melalui regulasi yang telah dimanipulasi, pemerintah memberikan keistimewaan terhadap kroni-kroni terdekatnya dalam bisnis televisi. Pasar terbentuk dan terkondisikan. Menjadi satu hal yang wajar jika mereka mendominasi dunia penyiaran di tanah air. Kita semua mafhum, pembahasan atas media penyiaran di era Orde Baru segendang sepenabuhan dengan pembahasan mengenai keluarga Cendana yang menjadi pemiliknya. Bisnis televisi di Indonesia berkembang dalam persaingan pasar yang semu.

Pengabaian akar kemunculan industri pertelevisian tersebut akan menyebabkan kesulitan dalam membaca kondisi saat ini serta dalam menuntaskan berbagai silang sengkarutnya. Dalam hal ini termasuk juga satu kesimpulan Iswandi yang menyatakan bahwa saat ini “negara dan penguasa yang dikendalikan oleh media (halaman 14)”. Kenyataannya, negara dan pemodal bekerjasama untuk mendapatkan kontrol atas media melalui rebirokratisasi.

Hal ini misalnya bisa kita lihat dalam pengaturan frekuensi penyiaran yang menguntungkan pemodal besar. Ditambah lagi dengan penundaan Sistem Siaran Jaringan yang semestinya sudah dilaksanakan sejak 2007. Tentu saja hal tersebut merupakan satu bentuk kerjasama yang saling menguntungkan dan mengabaikan kepentingan publik.

Rekonsilidasi dalam bisnis pertelevisian terjadi dengan cepat di mana para pemain lama tetap berada pada posisi dominan. Agus Sudibyo dan Nezar Patria dalam Ditempa Pertarungan Modal: Industri Pertelevisian di Indonesia Pasca Otoritarianisme (2013) menegaskan bahwa konsentrasi kepemilikan berada pada segelintir perusahaan yang pada dasarnya dijalankan oleh kelompok kepentingan yang tumbuh dari rezim otoriter lama. Mereka kini piawai menyesuaikan diri dengan tuntutan baru di era Reformasi.

Sampai di sini, kelemahan (pengabaian?) analisis ekonomi-politik menjadi lubang besar dalam bangunan argumen yang hendak disusun oleh Iswandi. Namun demikian, buku ini justru menjadi sumbangan konseptual untuk memantik diskusi-diskusi lanjutan tentang efek-kuasa televisi di Indonesia. Sumbangan yang berharga dalam ikhtiar mengembalikan daulat kepentingan publik.


Artikel ini adalah ulasan penulis atas buku:
Judul Buku: Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam Industri Televisi
Penulis: Iswandi Syahputra
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Maret 2013
Tebal: xxii + 216 halaman


Penulis:
WISNU PRASETYA UTOMO
Alumnus Komunikasi UGM. Saat ini sibuk sebagai peneliti media di Remotivi.


Sumber:
Artikel ini sebelumnya diposting oleh penulis dalam blog pribadinya -Acta Diurna- guna menambah informasi mengenai dunia tulis menulis, artikel ini kami posting kembali.


Semoga bermanfaat... :)

0 komentar:

Post a Comment

 
Toggle Footer
Top