DN Aidit dan Njoto. Foto: ist|google |
Sungguhpun Harian Rakjat (HR) lekat dengan nama Njoto, ia bukan pendiri corong resmi Partai Komunis Indonesia tersebut. Pendirinya Siauw Giok Tjhan (1914-1981), wartawan majalah Liberty dan Pemuda. Ia anggota Konstituante, pendiri Baperki, organisasi massa warga keturunan Tionghoa yang kemudian dilarang pasca-G30S.
Pertama kali terbit pada 31 Januari 1951 dengan nama Suara Rakjat, Harian Rakjat memiliki jargon nyaring: “Untuk rakjat hanja ada satu harian, Harian Rakjat.” Giok Tjhan memimpin Harian Rakjat dua tahun pertama, kemudian digantikan Njoto hingga akhir hayat.
Di tangan Njoto, yang kemudian diangkat sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda, HR dengan oplah yang diklaim sebesar 60 ribu eksemplar adalah pendukung kebijakan partai. Harian Rakjat tak ubahnya pamflet; tak ada edisi yang muncul tanpa kata “rakjat” dan dukungan pada Manifesto Politik Soekarno. Bahasa yang digunakan, seperti dibahas penulis Lekra, Busjari Latif, dalam artikelnya di Harian Rakjat, adalah bahasa yang “hemat, lintjah, dan terus terang sesuai kerangka Marxisme/Leninisme.”
Dalam buku kecil Pers dan Massa, kumpulan pidato Njoto saat ulang tahun Harian Rakjat 1956-1958, Njoto membandingkan surat kabar itu dengan Pravda, koran partai komunis Uni Soviet. Harian Rakjat disebutnya memiliki keunggulan utama, yakni para “korespondennja jang lahir dari tengah-tengah massa”. Artinya, setiap buruh, setiap pelajar, dan setiap orang bisa jadi koresponden.
Dalam periode 1950-an itu Harian Rakjat memberikan ruang luas bagi karya seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang didirikan Njoto dan dua petinggi PKI D.N. Aidit dan A.S. Dharta serta seorang tokoh Murba, M.S. Ashar. Lekra lahir pada tahun yang sama dengan Harian Rakjat, ketika dirasakan gemuruh semangat revolusi mulai mengendur. “Bahwa Rakjat adalah satu-satunja pentjipta kebudajaan dan bahwa pembangunan kebudajaan Indonesia-baru hanja dapat dilakukan oleh Rakjat,” begitu tertulis dalam Mukadimah Lekra.
Njoto, yang biasa menulis esai dan puisi, berdansa waltz dan foxtrot, serta meniup saksofon, sangat piawai memainkan peran utama di dua entitas kiri itu. Di Harian Rakjat, salah satu tugasnya sebagai pemimpin redaksi adalah menulis editorial koran. Menurut Martin Aleida, wartawan Harian Rakjat yang selamat dari pembantaian dan pemenjaraan, kadang ia menulis di kantor, meski sering menitipkannya lewat kurir. Njoto juga sering membantu merumuskan sudut pandang (angle) bagi artikel Harian Rakjat.
Sedangkan di Lekra, menurut Sabar Anantaguna, teman sekolah Njoto di Jember yang kemudian menjadi pengurus Lekra pusat, Njoto tahu bagaimana melayani seniman yang tak mau diatur dan dikomando. Dia sering hadir dalam rapat Lekra, meski tak banyak bicara. Kalau setuju, kata Anantaguna, Njoto diam. Kalau kurang setuju, Njoto baru angkat bicara dan selalu bilang, “Apa itu sudah yakin? Coba dipikir lagi,” Anantaguna menirukan Njoto.
Njoto pun hati-hati menjaga keseimbangan ideologis di kalangan seniman. Meski ia pendukung Manifestasi Politik sejati Njoto melahirkan prinsip “politik sebagai panglima” dan giat memobilisasi perlawanan terhadap para seniman non komunis pendukung humanisme universal Njoto tak setuju dengan upaya memerahkan Lekra sepenuhnya, seperti yang diinginkan rekan-rekannya di Politbiro. Anggota Lekra tidak semuanya komunis, dan ia ingin mempertahankannya begitu.
“Manikebu (akronim ejekan untuk Manifesto Kebudayaan) adalah sebuah konsep pemikiran. Konsep tidak bisa ditiadakan oleh tanda tangan di atas kertas,” kata Joesoef Isak, menirukan Njoto, sahabatnya. Ketika kemudian Soekarno melarang Manifesto Kebudayaan, Njoto tidak bersorak seperti kebanyakan pendukung komunis yang mengucap syukur.
Dalam ingatan Martin, Njoto pula yang menghapus nama Ernest Hemingway yang ia kenal personal dan film The Old Man and The Sea dari daftar film Amerika yang haram ditonton. Demikian kuat karisma Njoto hingga ada lelucon sendiri. Di kalangan penghuni Jalan Cidurian 19, rumah Oey Hay Djoen, kantor pusat Lekra, bila Njoto datang, para penghuni berdiri. “Kalau Aidit yang datang, mereka tak mau melakukannya,” kata Martin.
Iwan Simatupang, sastrawan antikomunis asal Sibolga, pernah mencemaskan pengaruh Njoto yang dianggapnya lebih berbahaya daripada Lukman atau Aidit-karena kuatnya inteligensi orang yang disebutnya “sok intelek dan sok filosofis” itu. Menurut dia, seniman besar seperti Rivai Apin, Basuki Resobowo, dan Henk Ngantung menjadi simpatisan komunis karena pengaruh Njoto.
l l l
Masa-masa keemasan Njoto sebagai pemimpin agitasi dan propaganda melemah ketika konflik ideologis antara Njoto dan Aidit memuncak. Saat itu PKI sudah mengklaim punya anggota lebih dari tiga juta. Setelah MPRS menabalkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, Njoto didaulat sebagai menteri. Kedekatannya dengan Soekarno Njoto adalah penulis pidatonya-mengancam posisinya di partai (baca “Njoto dan Soekarnoisme” Red). Puncaknya pada 1964, seperti keterangan Joesoef Isak, ketika Njoto diskors dari seluruh jabatannya di partai, termasuk posisi Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda. Penggantinya, Oloan Hutapea, loyalis Aidit.
Konflik Njoto dan Aidit merembet sampai ke Harian Rakjat. Martin ingat, bulan-bulan terakhir menjelang G30S, Njoto sudah tak aktif lagi memimpin. Tapi konflik internal Harian Rakjat memanas. Mereka yang dari Sumatera dimusuhi awak redaksi yang berlatar belakang Pemuda Rakyat karena dianggap anak emas Njoto. “Padahal karena kami lebih biasa berbahasa Melayu. Selain itu, Pemuda Rakyat tak begitu senang kepada seniman Lekra yang tak bisa diatur. Pemuda Rakyat lebih militan,” katanya.
Tapi demikian lekatnya Harian Rakjat dengan sosok Njoto, Aidit tak berupaya mencopotnya. Partai membuat harian umum baru, Kebudajaan Baru. Menurut Martin, koran baru ini muncul hanya 1-2 bulan menjelang G30S, sehingga tak banyak petinggi partai yang mengetahui. Pemimpin redaksinya Muslimin Jasin, anggota Comite Central asal Nusa Tenggara.
Seorang pemimpin PKI di daerah yang diwawancarai Saskia Eleonora Wieringa dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia-mengaku jadi bagian dewan redaksi Kebudajaan Baru, yang dibuat untuk menandingi Harian Rakjat. “Malam sebelum kup kami mengadakan rapat redaksi. Aidit datang dan mengatakan, “Sekarang saya akan memulai sesuatu yang banyak kawan kita mungkin tidak suka. Tapi ini merupakan jalan pintas cita-cita kita,” katanya.
Sejarah mencatat, “jalan pintas” Aiditlah yang mengubur dalam-dalam bukan cuma partai, tapi juga Lekra dan Harian Rakjat sekaligus. HR menerbitkan edisi penghabisan pada Sabtu, 2 Oktober 1965, dan Harian Rakjat Minggu (HRM) melakukannya sehari kemudian. Nomor buncit lembar seni-budaya itu memuat nama Banda Harahap sebagai pimpinan dewan redaksi, dengan penanggung jawab M. Naibaho dan beranggotakan sastrawan Zubir A.A, Amarzan Ismail Hamid, dan Bambang Sokawati Dewantara-putra bungsu Ki Hajar Dewantara. Seperti dikutip Taufiq Ismail dalam buku Prahara Budaya, ada sejumlah petunjuk di edisi itu akan situasi genting pasca-G30S, namun yang paling menarik adalah puisi “Wong Tjilik” (yang menurut salah satu redaktur HRM, adalah karya Njoto) di pojok Tjabe Rawit, halaman tiga:
Makan tak enak, tidur tak nyenyak
Nasi dimakan serasa sekam, air diminum serasa duri
Siang jadi angan-angan, malam jadi buah mimpi, teringat celaka badan diri
Bukan salah bunda mengandung, salah anak buruk pinta
Sudahlah nasib akan digantung, jadi si laknat setan kota….
Njoto, akhir 1950-an. dok. ANRI |
SUASANA Jakarta mencekam pada hari itu, 2 Oktober 1965. Dua hari sudah lewat setelah pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965. Partai Komunis Indonesia dituduh bertanggung jawab dan para aktivisnya segera menjadi target penangkapan.
Njoto, Ketua II Comite Central Partai Komunis Indonesia dan salah satu menteri Kabinet Dwikora I baru pulang dari kunjungan dinas. Dia mendampingi Perdana Menteri I Soebandrio dalam turne ke Sumatera Utara. Malam telah tiba ketika ia tiba di rumahnya, Jalan Malang, Menteng Nomor 22, Jakarta Pusat. Tak sempat istirahat, ia segera mengajak istri yang sedang hamil dan enam anaknya meninggalkan rumah.
Keluarga ini mendatangi rumah para kerabat, mencari tempat mengungsi. Tak ada yang berani menampung mereka. Seorang teman di daerah Kebayoran yang justru bersedia memberi mereka tempat tinggal. Njoto hanya menitipkan istrinya, Soetarni, dan enam anaknya. Ia bergegas pergi lagi. “Kami cari tempat sendiri sendiri,” kata Soetarni.
Soetarni dan anak anaknya tak lama di satu rumah. Mereka berpindah pindah. Pada suatu ketika, mereka menetap di Asrama Mahasiswa Concentratie Gerakan Mahasiswa Indonesia di daerah Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Soetarni mengingat, pada akhir 1965, dua kali suaminya datang menjenguk. “Sekali tengah malam, sekali siang,” ujarnya.
Soetarni mengatakan tidak pernah tahu tempat persembunyian suaminya. Ia menduga, Njoto masih tinggal di rumah mereka di Menteng. Bisa jadi dugaannya benar, paling tidak pada awal awal pelarian Njoto.
Amarzan Ismail Hamid, wartawan Harian Rakjat, koran yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, mengatakan bertemu Njoto pada 6 Oktober pagi di Jalan Menteng. Ketika itu Njoto hendak berangkat ke Sidang Kabinet di Istana Bogor bersama M.H. Lukman, menteri negara yang juga Wakil Ketua I Comite Central Partai Komunis Indonesia.
Njoto dan Lukman sempat berdiskusi sebelum menuju Bogor. “Kalau hasil sidang jelek, kita ke Bandung. Kalau bagus, kita tetap di Jakarta,” kata Amarzan menirukan pembicaraan keduanya. Ternyata, setelah sidang, mereka menganggap Soekarno masih menguasai keadaan. Mereka pun kembali ke Jakarta.
Menurut buku Gerakan 30 September/PKI Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1994, Njoto hadir di sidang atas perintah Ketua Umum D.N. Aidit dari pelariannya di Jawa Tengah. Melalui anggota Biro Khusus, Bono, ia mengirim pesan kepada Sudisman, Sekretaris Comite Central. Isinya, agar anggota Comite Central yang masih di Jakarta segera melakukan upaya penyelamatan partai. Ia juga meminta Njoto mewakilinya dalam Sidang Kabinet di Bogor.
Seorang kerabat M.H. Lukman mengisahkan, pada 5 Oktober malam, Njoto, Lukman, dan sejumlah petinggi PKI minus D.N. Aidit sempat berkumpul di kediaman Joesoef Isak, seorang wartawan yang dekat dengan Njoto, di daerah Kebayoran, Jakarta Selatan. Tapi ia mengaku tak mengetahui materi pembicaraan. “Mungkin koordinasi sebelum ke Bogor,” katanya.
Pada siang di akhir Agustus 2009 sebelum meninggal pada malam harinya, Joesoef membenarkan adanya pertemuan para petinggi PKI di rumahnya. Tapi ia tak bisa mengingat apakah pertemuan itu berlangsung sebelum atau sesudah 6 Oktober.
Kediaman Joesoef adalah salah satu tempat persembunyian favorit Njoto. Joesoef menuturkan, suatu ketika tentara sempat menggerebek rumahnya. Mereka melihat Njoto tapi membiarkannya dan justru memberi hormat karena tidak ada surat perintah penangkapan. “Sebelum jam malam selesai, Njoto kabur,” kata Joesoef.
Seusai sidang kabinet di Bogor, sekelompok tentara membuntuti Njoto dan Lukman. Njoto memutuskan berpindah pindah tempat. Sebagai tokoh PKI, Njoto cukup berani ketika itu. “Dia masih keluyuran. Mungkin karena merasa PKI tidak bersalah,” kata Bonnie Triana, peneliti sejarah Universitas Indonesia.
Sarbi Moehadi, 81 tahun, bekas Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat Pekalongan, Jawa Tengah, menyatakan Njoto sempat memimpin rapat konsolidasi di Slawi, Jawa Tengah, beberapa bulan setelah peristiwa 30 September. Menurut dia, Njoto meminta para pemimpin partai dan pegiat Lekra di daerah ini mempertahankan organisasi. Sarbi ditangkap beberapa bulan kemudian dan dipenjara 14 tahun.
Amarzan, kini 68 tahun, meragukan cerita Sarbi. Menurut dia, Jakarta paling aman untuk bersembunyi. Ke luar kota sama dengan mencari mati, katanya. Ia yakin, meski berpindah pindah, Njoto tak pernah lari ke luar Jakarta.
Seperti pelariannya, penangkapan Njoto masih menyisakan misteri. Sri Windarti, adik perempuannya, pernah mendapat cerita dari Edi, sopir pribadi Njoto. Menurut dia, sang sopir merasa diikuti seseorang ketika mengantar Njoto ke kantor, yang sekarang menjadi Sekretariat Negara. Edi sempat bertanya kepada Njoto: pulangnya dijemput di kantor atau di Istana Negara. “Si Mas hanya menjawab: sudah, jangan ditengok,” kata Windarti.
Menurut cerita seorang pengawal Istana, kata Windarti, mobil Njoto dicegat dalam perjalanan. Tapi ia tak memperoleh cerita detail, termasuk waktu dan tempat, tentang peristiwa itu.
Irina Dayasi, anak kelima Njoto, mengatakan ada banyak versi cerita penangkapan. Versi pertama, ayahnya ditangkap dalam perjalanan pulang dari Sidang Kabinet di Bogor pada 6 Oktober. Ia menganggap versi ini paling tidak logis karena sejumlah orang mengatakan masih bertemu Njoto hingga Desember 1965. Versi kedua, Njoto ditahan setelah menemui Soebandrio. Versi ketiga, ditangkap dalam perjalanan dari kantor Kementerian Negara. Irina memperkirakan, ayahnya ditangkap sekitar Desember.
Menurut Amarzan, Njoto ditangkap dalam perjalanan di Jalan Tosari, Menteng, Jakarta Pusat. “Mobilnya disalip, lalu dicegat. Dia dikeluarkan, dipukul, kacamatanya jatuh. Itu yang saya dengar,” katanya.
Sampai sekarang nasib Njoto tak jelas. Kuburannya, jika ia telah meninggal, tak diketahui. “Serba gelap,” kata Irina.
Suatu ketika, beberapa tahun setelah peristiwa 30 September, beberapa temannya mendatangi seorang paranormal untuk mengetahui keberadaan Njoto. Sang dukun kerasukan dan “menjelma” menjadi Njoto. Ia menulis nama “Njoto” di papan. “Tulisannya agak miring, persis tulisan tangan Njoto,” kata teman Njoto, yang menolak disebut namanya tapi ikut mendatangi dukun. Menjawab pertanyaan para “kliennya” soal keberadaan Njoto, dukun menjawab: “Ada di Jawa Barat.”
Besan Soetarni, bernama Sugeng, adalah pensiunan polisi militer. Kepada Soetarni, Sugeng mengatakan pernah melihat Njoto di tahanan markas militer Guntur, Jakarta Pusat, ketika piket jaga pada suatu malam. Esoknya Njoto tidak ada lagi di tahanan itu.
Menurut Iramani, adik perempuan terkecil Njoto, ada cerita Njoto ditembak di daerah Tanjung Priok. Ia juga memperoleh versi lain, Njoto dibawa dari Rumah Tahanan Militer Budi Utomo ke daerah Bekasi, Jawa Barat, dan dihabisi di sana pada 13 Desember 1965. “Mana yang betul, saya tidak tahu,” katanya.
Joesoef Isak mendapat informasi bahwa Njoto sempat ditahan selama dua hari di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo. Cerita itu didapatnya dari seorang tentara yang tinggal di mes rumah tahanan, yang bercerita bahwa Njoto ada di situ. “Saya tanya dia: emang kamu tahu Njoto? Dia bilang pake kaca mata kan, gaya-gaya Cina,” kata Joesoef.
Menurut Joesoef, ciri ciri yang disebutkan tentara itu memang punya Njoto. Tapi Njoto hanya dua malam di sana. Setelah itu ia dibawa dua orang tentara entah ke mana. “Itu informasi pertama yang saya terima langsung,” kata Joesoef.
Menurut Bonnie Triana, setelah diambil dari rumah tahanan militer, Njoto dihabisi di suatu tempat di Jakarta. Ia menambahkan, “Mayatnya dibuang ke Kali Ciliwung.”
Sumber: History Talk
Searching aidit videos, would love to hear his voice, please help
ReplyDeleteOr a videos about him (Dn aidit)
ReplyDelete