Sejumlah wartawan di Deli Serdang membuat
kriteria layak berita baru. Bagi mereka, berita menarik harus mengandung kasus
dan juga duit.
Ismail namanya. Profesinya wartawan. Medianya sulit dicari dan hanya dikenal
oleh sedikit orang: surat kabar mingguan Bidik Kasus, terbitan Medan. Pos
liputannya di Deli Serdang. Di kota kabupaten yang berjarak 30 kilometer dari
Medan itu, nama bapak satu anak ini cukup dikenal. Sayangnya bukan untuk urusan
berita, melainkan urusan lain: peras memeras.
Ismail dikenal wartawan di Deli Serdang sebagai spesialis
86, meminjam istilah kalangan polisi untuk damai di tempat ketimbang
’diberitakan’ miring. Untuk semua lagaknya itu, warga Jalan Panglima Denai,
Medan, Sumatera Utara ini, mengaku punya alasan sendiri.
Begini, katanya. Sebagai wartawan Bidik Kasus, Ismail tak
menerima honor apalagi gaji bulanan. Ia tertarik melamar menjadi wartawan
karena syaratnya gampang. Pria 30 tahun ini cukup datang ke kantor redaksi
Bidik Kasus di Jalan Mangaan, Pasar III Mabar, Kecamatan Medan Deli. Dengan
membayar Rp 150 ribu, ia sudah mendapat kartu pers berhiaskan foto dirinya.
Resmilah Ismail menjadi wartawan.
Suprapto, Kepala Biro Bidik Kasus di Deli Serdang,
menjelaskan hal serupa kepada penulis. Dengan berpura-pura melamar menjadi
wartawan Bidik Kasus, penulis diberi informasi hak dan kewajiban wartawan Bidik
Kasus, persis yang disampaikan Ismail.
Kewajibannya sebagai wartawan bisa dianggap enteng, bisa
tidak. ”Tiap terbit, anda wajib menjual 15 eksemplar koran,” kata Suprapto.
Karena korannya terbit mingguan, waratawan Bidik Kasus sebulan harus menyetor
setara penjualan 60 eksemplar koran. Dengan harga per eksemplar Rp 3 ribu,
total duit setoran Rp 180 ribu perbulan. Bagi Is—panggilan akrab Ismail—dan
sejumlah wartawan Bidik Kasus lain, ’target’ sebesar itu termasuk berat. Harus
banting tulang, baru ’setoran’ itu bisa ditutup.
Lalu dari mana Is bisa menghidupi keluarganya?
”Pintar-pintar wartawan lah di lapangan,” katanya. Setiap bulan, Is harus
membawa pulang penghasilan sedikitnya Rp 1,5 juta. Itu ongkos hidup sebulan
istri dan satu anaknya yang masih balita. Duit itu sudah termasuk ongkos sewa
rumah, rekening air, listrik dan susu anak.
Beban ’gaji’ dan setoran itu memaksa Ismail mencari
narasumber yang cepat menghasilkan uang. Di koran Bidik Kasus, setiap wartawan
diberi kelonggaran seluas-luasnya menggali berita. Soal akurasi berita, itu
urutan nomor sekian. Yang penting berita naik cetak, dan esoknya harinya, si
wartawan mendapat keuntungan dari berita tersebut. ” Orang kantor cukup
mengerti soal itu,” ujar Is.
Meskipun korannya tidak beredar umum di pasaran, wartawan
Bidik Kasus cukup ’berkibar’ di antara para jurnalis di Medan dan Deli Serdang.
Bahkan sebagai koran mingguan, Bidik Kasus sudah memiliki biro-biro daerah.
Meliputi seluruh kabupaten/ kota di Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD), dan sejumlah perwakilan di Sumatera Barat.
Tidak diketahui persis bagaimana kiat dan manajemen
mengelola koran seperti Bidik Kasus, sehingga mereka bisa berkembang. Basri
Lubis, Pimpinan Umum/Pimpinan Redaksi Bidik Kasus, mengunci mulutnya
rapat-rapat menolak menjawab soal tersebut.
Di Deli Serdang, wartawan seperti Ismail bukan cuma
seorang. Mereka kerap meliput berita secara bergerombol, seperti ikan teri.
Pejabat dan narasumber setempat punya sebutan khusus untuk wartawan seperti
Ismal cs, yakni jurnalis kasus. Itu setipe dengan sebutan bagi jurnalis bodong
alias wartawan tanpa surat kabar (WTS), yang lebih memburu amplop ketimbang
memburu berita.
Tiap hari, Ismail dan kawan-kawannya bergerilya dari satu
instansi ke instansi lain, dari satu sumber ke sumber lain, untuk mendapatkan
‘pucuk’ (istilah untuk uang, red). Biasanya Is dan beberapa rekannya
sudah punya bahan atau informasi awal tentang suatu kasus. Informasi itu bisa
mereka dapat dari temuan langsung di lapangan, berita koran, atau hasil
kasak-kusuk di antara mereka. Jika ada ‘bahan’ yang kuat baru Ismail cs
mendatangi korbannya. Alasannya ’konfirmasi’.
Biasanya kalau ada ’bahan’, oknum yang punya masalah tak
akan banyak berkilah. ”Biasanya langsung dapat sinyal untuk 86 dari korban,”
ujar Is, yang hanya bertahan 3 bulan bekerja di Bidik Kasus. Besar kecilnya
’penghasilan’ yang didapat, menurut pengalaman Ismail, tergantung besar
kecilnya musibah atau masalah yang menimpa narasumber.
Misalnya saja, peristiwa kebakaran gudang pengolahan kayu
PT. Usaha Karya Bahagia di Jalan Binjai Km 12 atau persisnya di Jalan Kompos
No. 2 Deli Serdang, pukul 10.00 pagi, akhir Februari lalu. Api diduga berasal
dari terbakarnya mesin penghalus kayu. Pasca kebakaran, Is dan 5 orang wartawan
mendatangi Ashari, 46 tahun, pemilik gudang, yang sedang berada di lokasi.
Mereka tak butuh waktu lama untuk memaksa warga komplek
perumahan Setia Budi Medan ini merogoh kantongnya dan melepas Rp 500 ribu duit
miliknya. Wartawan menakut-nakuti Ashari dengan isu kesengajaan melakukan
sabotase pada kebakaran gudang. Isu itu sebenarnya akal-akalan dan tak jelas
sumbernya. Keesokan harinya berita kebakaran itu terbit menghiasi beberapa
koran, tapi tak tertulis soal dugaan sabotase pada kebakaran gudang itu.
Jurnalis kasus tak pandang korban. Kaya miskin bisa jadi
sasaran. Seperti keluarga Hasibuan, warga Perbaungan. Saat itu salah satu
keluarga mereka, sebut saja Wati dilaporkan korban ke Polsek Perbaungan karena
dituduh mencuri. Meski memilih jalan damai dan membayar Rp 3 juta rupiah kepada
korban, masalah tidak juga selesai. Korban ngotot meneruskan perkaranya sampai
ke pengadilan.
Saat itulah seorang oknum wartawan, mengaku bernama Ivan,
mendatangi Wati. Ia menawarkan diri menjadi dewa penolong. Karena percaya Ivan
bisa membuat kasusnya tak sampai ke pengadilan, Wati rela membayar hingga Rp 2
juta rupiah kepada si wartawan. Ternyata janji Ivan palsu belaka. Derita Wati
belum berakhir. Di Kejaksaan, Wati diperas oknum jaksa sebesar Rp 2 juta untuk
meringankan tuntutan hukumannya.
Namun sewaktu-waktu, jurnalis kasus juga harus rela
pulang dengan tangan hampa. ” Kalau gagal, itu paling seringlah,” aku Ismail.
Seperti saat menjadi makelar kasus anak seorang kepala rumah sakit umum di Deli
Serdang yang tertangkap karena tersandung kasus narkoba. Kepada keluarga
korban, Is mengaku dekat dengan oknum petugas. Sebaliknya kepada petugas, Is
mengaku bisa mengatur kesepakatan dengan keluarga.
Setelah bernegosiasi, keluarga korban bersedia
menyediakan uang Rp 50 juta untuk ’86’. Namun transaksi batal, karena
penangkapan tersangka gencar dimuat koran lokal. Rejeki kakap jutaan rupiah pun
melayang. Is hanya diberi ongkos ganti bensin Rp. 100 ribu dari keluarga
tersangka. Masih ditambah pesan: agar pemberitaan anaknya jangan
dibesar-besarkan.
Kantor atau instansi pemerintah yang rajin menebar amplop
adalah tempat mangkal dan langganan para jurnalis kasus. Tempat-tempat itu juga
ajang liputan mereka sehari-hari. Umumnya jurnalis kasus di instansi tertentu
punya sumber berita yang sangat royal dan gampang mengeluarkan ’pucuk’. Mereka
juga gampang dan cepat mendapat informasi soal manipulasi atau penggelapan yang
dilakukan oknum pejabat.
Misalnya, soal temuan penggelapan dana pembangunan press
room di Deli Serdang. Pembangunan press room senilai Rp 280 juta dan
telah dianggarkan dari APBD di tahun 2000 seakan hilang tak berbekas. Puluhan
wartawan cetak dan elektronik di Deli Serdang sempat berdemo ke kantor DPRD,
kantor Bupati, dan Kejaksaan Negeri menyoal kasus itu, pertengahan Februari
lalu (berita demo terbit di media massa, 19
Februari 2009). Tragisnya, setelah berita muncul, tak ada
lagi koran yang memberitakan nasib press room. Rupanya penyimpangan itu
cukup selesai dengan ’delapan enam’.
Jurnalis kasus juga bukan monopoli pria. Lince Hutabarat,
yang juga bekerja di koran Bidik Kasus, mengakui sering pula mencari ’pucuk’. Hanya,
wanita 46 tahun ini bermodus lain dalam mencari iklan. ”Saya lobi-lobi saja
sambil mencari iklan,” kata Redaktur Pelaksana Bidik Kasus ini.
Iklan yang dibidik Lince berbeda dengan iklan media cetak
umumnya. Dia tak perlu membubuhkan keterangan iklan atau advertorial pada
medianya. Di musim pemilu, misalnya, yang diperlukan Lince adalah ’daftar
hitam’ kasus para caleg. Dengan sedikit gertakan, para caleg biasanya memilih
memampangkan foto dan atribut kampanyenya di Bidik Kasus. Selain diminta membayar
berita iklan, mereka pun diminta membeli seratus eksemplar koran. Setelah
dipotong sekian persen untuk jatah pemimpin redaksi, uang selebihnya masuk
kantong Lince. ”Itu komisi saya,” jelasnya.
Di kalangan wartawan kasus Deli Serdang, Lince dikenal
punya mental baja. Keberaniannya untuk ’delapan enam’ tidak kalah dengan
wartawan kasus pria. Selain jago melobi, Lince terbilang senior di kalangan
wartawan kasus. Tak heran, ia sering diperalat wartawan lain untuk menembus
sumber.
Lince mengaku terpaksa bekerja di Bidik Kasus karena
desakan ekonomi. Penghasilan suaminya sebagai tukang becak dayung tak cukup
mengongkosi rumah tangga dan biaya sekolah Ucok, 12 tahun, anak mereka yang
kini duduk di bangku SMP.
Lince bukan tak ingin pindah ke media yang mampu
menggajinya dengan baik. Selain kurang percaya diri, ia merasa usianya tak muda
lagi. ”Biar mengalir seperti air, kalau ada peluang usaha yang lebih
menjanjikan, pastilah diambil,” tambah Lince yang tak tahu sampai kapan akan
bekerja sebagai wartawan di Bidik Kasus.
Namun, Lince sebenarnya bukan pengangguran. Sehari-hari,
dia juga mengajar di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan swasta di Medan.
Honor mengajar memang tak seberapa. Tapi, ditambah ”pucuk” dari lapangan,
alumni Jurusan Bahasa Indonesia sebuah perguruan tinggi di Medan ini mengaku
hidupnya tak susah-susah amat. ”Ya pintarpintar ajalah menjalani hidup ini,”
ujar Lince sambil menarik asap rokok Gudang Garam Surya dalam-dalam.
Di Medan, media-media tak jelas seperti Bidik Kasus terus
bertumbuhan. Tapi, jangan harap Anda bisa menemukan koran-koran itu di loper
atau pengecer pinggir jalan. Soalnya, koran-koran kasus hanya dicetak dan
diedarkan terbatas dikalangan narasumber dan instansi pemerintah yang berhasil
’dikasuskan’. n
Sumber:
Wajah Retak Media: Kumpulan Laporan Penelusuran
© AJI Indonesia
Cetakan Pertama. Mei 2009
Diterbitkan oleh.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
Jl. Kembang Raya No.6 Kwitang-Senen
Jakarta Pusat 10420 – Indonesia
Tel. +62 21 3151214, Fax. +62 21 3151261
www.ajiindonesia.org
Tentang Penulis:
IRVAN SUGITO
30 Tahun yang lalu di Kuta Cane, Aceh Tenggara tepatnya 6
April 1979 putra berdarah Aceh-Jawa ini lahir ke dunia. Sejak SD hingga
SMU ia menghabiskan waktunya di Kota Langsa yang dulunya merupakan Ibu Kota
Kabupaten Aceh Timur Nanggroo Aceh Darussalam (NAD).
Ia hijrah ke Medan dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi
Negeri Universitas Sumatera Utara mengambil Jurusan Bahasa Jepang pada tahun
1998. Sebagai mahasiswa, buah hati pasangan Abdul Hajad Bida dan Rukiyem ini
aktif berorganisasi.
Ia pernah menjabat sebagai Ketua Teater O USU sejak tahun
2000 hingga 2004. Selain aktif melakoni pementasan drama bersama Teater O, juga
terlibat dalam pembuatan naskah drama diantaranya Best Of The Best dan
Salah Kaprah.
Selain itu beberapa karya puisinya seperti Cerita Duka,
Pantai Kelang, Ujung Barat Indonesia pernah diterbitkan di koran harian lokal
Analisa. Di dunia jurnalis lelaki penggemar makan mi Bakso ini pertama kali
memberanikan diri terjun sebagai jurnalis di harian Lokal JawaPos grup di Sumut
Pos pada tahun 2006 hingga 2008.
Selanjutnya pada awal tahun 2009 pindah ke media lain,
dan hingga sekarang tercatat sebagai wartawan MedanBisnis -Medan. Ia memiliki
moto hidup ‘mengalir seperti air, dan tidak malu untuk mengakui kekurangan’.
0 komentar:
Post a Comment