Seperti kerupuk tersiram air. Berita-berita galak
bisa langsung loyo setelah advertorial terpasang.
Eko Budi Setianto lagi asyik nonton sinetron bersama istri
dan anaknya ketika telepon selulernya berkedip-kedip. Bosnya menelepon. Untuk
menghindari suara televisi yang berisik, reporter harian Surabaya Pagi ini
beranjak ke halaman rumah. “Tolong berita tambang emasnya di-blow-up lebih
keras. PT Indo tak konsisten,” kata suara di seberang. Suara itu milik Pimpinan
Redaksi Surabaya Pagi, Gatot Bibit Bibiyono. Mendapat perintah langsung
dari ‘Bos Besar’, Budi hanya bisa mengangguk. “Siap, Pak. Saya usahakan.”
Beberapa menit sebelum pembicaraan itu, Budi menerima
pesan terusan dari Gatot. Isinya tagihan piutang sebesar Rp 86 juta dari Surabaya
Pagi kepada Direktur PT Indo Multi Niaga (IMN atau selanjutnya disebut
Indo), Andreas Reza Nazarudin dan General
Manager, Fauzi Djafar Amri.
Indo adalah perusahaan yang mengantongi kuasa penambangan
emas di Gunung Tumpang Pitu, Pesanggaran, Banyuwangi. Tumpang Pitu diperkirakan
mengandung cadangan 9,6 juta ton bijih, dengan kadar 2,3 gram emas per ton.
Total, kawasan ini ditaksir dapat menghasilkan 22 ton emas – jumlah yang menggiurkan.
Beberapa pekan sebelumnya, Indo memasang advertorial di Surabaya Pagi.
Rupanya, tagihan biaya iklan itu belum semuanya dibayar lunas.
Sehari setelah menerima order khusus itu, Budi
bergerilya. Ia menghimpun bahan-bahan yang dapat memojokkan Indo dengan
mewawancarai sejumlah narasumber yang selama ini menentang rencana penambangan
Indo. Agar Budi lebih konsentrasi pada misi istimewa itu, Gatot membebaskan
Budi dari tugas rutin menyetor berita harian.
Tak sampai dua pekan kemudian, gerilya Budi membuahkan
hasil. Dalam empat tulisan serial, 3-6 Maret 2009, Surabaya Pagi “menghantam”
Indo dengan sejumlah berita panas. Keempat tulisan itu berjudul: “Bupati Ratna
Didesak Batalkan Rekomendasi PT IMN”, “Tak Miliki Ijin, Komisi IV Minta Polisi
Tindak IMN”, “Warga Laporkan IMN ke Komnas HAM”, dan “Dewan Minta PT IMN
Hentikan Penambangan di Tumpang Pitu”. Berita-berita panas ini berbeda dengan
gaya pemberitaan Surabaya Pagi, empat bulan (November 2008) sebelumnya,
yang seperti selalu mendukung PT Indo.
Selama ini, rencana operasi Indo di Banyuwangi menyulut
prokontra. Dari 11.000 hektar lebih wilayah eksplorasinya, lebih dari 1.200
hektar merupakan kawasan hutan lindung dan 700 hektar lagi kawasan hutan
produksi di bawah pengelolaan PT Perhutani. Indo memang telah mendapatkan
rekomendasi Menteri Kehutanan untuk mengelola kawasan tersebut. Namun, protes
dan penolakan tetap saja merebak dari pelbagai penjuru angin.
Sedikitnya lima ribu warga, sebagian besar petani dan
nelayan, yang hidup di sekitar lokasi penambangan tergabung dalam Koalisi Tolak
Tambang Emas Tumpang Pitu. Mereka meminta pemerintah daerah membatalkan
eksplorasi Indo karena khawatir limbah penambangan akan mencemari laut yang
letaknya dua kilometer dari sana. Selain itu, penambangan dikhawatirkan akan
menyedot air irigasi yang selama ini mengairi sawah. Hutan Gunung Tumpang Pitu
merupakan area tangkapan air yang diandalkan petani dan warga sekitar. Alasan
lain: lokasi sekitar merupakan kawasan rawan tsunami dan bahaya angin kencang.
Peraturan Daerah Jawa Timur No 61/2006 telah menetapkan daerah ini sebagai
kawasan pengendalian ketat.
Kisah advertorial dan pemberitaan yang galak itu bermula
pada Oktober 2008. Menurut General Manager Indo, Fauzi Djafar Amri, pihaknya
mendapat penawaran memasang iklan dari Pemimpin Redaksi Gatot Bibit Bibiyono.
Melalui beberapa pertemuan di sebuah hotel di Surabaya, Gatot mengajukan dua
proposal. Pertama berisi penawaran iklan kampanye Fauzi yang akan maju menjadi
calon anggota DPR-Pusat untuk daerah pemilihan Surabaya dan Sidoarjo. Kedua,
penawaran pemasangan iklan untuk Indo. “Total nilainya lebih dari Rp 1 milyar,”
kata Fauzi awal Maret 2009 kepada penulis.
Dari dua proposal itu, Fauzi hanya menyetujui iklan
kampanye caleg selama enam bulan hingga April 2009. Perihal iklan penambangan,
kata Fauzi, belum ada kesepakatan harga.
Karena itu, Fauzi sangat terkejut ketika ia menerima
tagihan Surabaya Pagi untuk biaya advertorial penambangan emas, Februari
2009. “Tagihannya lewat sms pula,” katanya. Ia merasa dijebak. Sebab, Gatot
hanya mengatakan ingin membantunya dengan menulis berita tambang dari sisi
positif. “Eh, ujung-ujungnya datang tagihan,” kata Fauzi.
Jengkel karena merasa dijebak, bulan Februari itu pula,
Fauzi menyetop iklan kampanye caleg. Hubungannya dengan Surabaya Pagi pun
memanas. Menyusul tagihan via sms itu, Surabaya Pagi (melalui
berita-berita yang ditulis Eko Budi) menaikkan berita serial yang menghantam
Indo. Ini membuat Fauzi gerah.
Karena tak tahan, akhirnya Fauzi menyerah. Ia melunasi
seluruh tagihan yang diminta Surabaya Pagi. Berapa yang ia bayar? Wakil
Ketua Departemen Hubungan Kerjasama Internasional DPP PPP ini memilih bungkam.
“Sudahlah,” katanya, “Yang penting sudah selesai.” Keterangan Fauzi soal jebak
menjebak dibantah Gatot. Ditemui di kantor Surabaya Pagi di Jalan Gunung
Sari Surabaya, pertengahan Maret lalu, Gatot mengaku justru dia yang kena tipu
Fauzi.
Menurut Gatot, mereka sudah lama kenal. Sebagai orang
media yang sering wara-wiri ke Jakarta, ia mengenal Fauzi sebagai anggota DPP
PPP. Hubungan berlanjut ketika Fauzi mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR
untuk daerah pemilihan Surabaya dan Sidoarjo. Fauzi minta Gatot membantunya
melalui iklan. Gayung bersambut. Gatot
membuat penawaran. Fauzi sepakat beriklan dengan nilai
kontrak Rp 15,5 juta.
Dari komunikasi ini, menurut Gatot, Fauzi kembali minta
tolong untuk “memberitakan tambang emas” guna mengkampanyekan kegiatan corporate
social responsibility (CSR) Indo untuk warga sekitar tambang. Kata Gatot,
Fauzi menyanggupi memberikan ongkos peliputan berita sebesar Rp 40 juta. Karena
posisi Fauzi sebagai General Manager Indo, Gatot pun menyanggupi. “Oke kita
bantu berita yang baik-baik. Tapi setelah itu harus ngiklan ya?” kata Gatot
saat itu.
“Kesepakatan” itu turun sampai ke tingkat bawah jajaran
redaksi Surabaya Pagi. Eko Budi Setianto, reporter yang selama ini
meliput berita penambangan, masih ingat di suatu hari di bulan November 2008,
ia mendapat perintah dari Gatot melalui telepon. “Kita sudah ada komunikasi
dengan PT Indo,” kata Gatot seperti ditirukan Budi, “Beritanya tulis yang
baik-baik, ya, koordinasi dulu dengan redaksi.” Kalau pun ada aksi-aksi protes
dari warga, Gatot minta agar “beritanya diedit sedemikian rupa sehingga tak
nampak garang lagi”.
Hasilnya sejak pertengahan November, Surabaya Pagi mengusung
berita-berita yang mendukung Indo, dengan judul antara lain: “Gunung Tidak Akan
Dikepras, Dirancang Seperti Pongkor” (4 Desember); “Rekomendasi DPRD Tak Dibutuhkan”
(27 November); “DPRD: Tidak Bisa Salahkan PT IMN” (19 November); dan
“Eksplorasi PT IMN Tak Cemari Grajagan” (18 November). Bahkan pada 2 Desember
2008, Surabaya Pagi menurunkan berita satu halaman dengan judul utama “IMN:
Tidak Ada Limbah Terbuang”. Ini berbanding terbalik dengan pemberitaan tiga
bulan sebelumnya yang terus menggedor rencana penambangan Indo.
Setelah serombongan “berita positif” itu terbit, Gatot
menyodorkan draft proposal iklan kepada Fauzi. Namun, general manager Indo ini
menolak, tak mau membubuhkan tanda tangan. Gatot makin heran karena Fauzi
menolak membayar ongkos peliputan seperti yang dijanjikan. Padahal berita
pesanan sudah terlanjur terbit. Tak hanya menagih ke Fauzi, Gatot juga
melayangkan tagihan ke Direktur Indo, Andreas Reza Nazarudin. Dari Andreas, ia
mendapat kabar buruk. “Anda kerjasama dengan orang yang salah. Fauzi bukan
orang PT Indo lagi,” kata Andreas melalui telepon. Usut punya usut, kata Gatot,
Fauzi memang sudah tak aktif lagi di Indo.
Gatot membantah menugaskan Eko Budi Setianto untuk
‘menghantam’ PT Indo karena perusahaan itu menunggak utang. Berita edisi awal
Maret 2009 itu, katanya, memang untuk mengkritisi apa yang terjadi dalam
pertambangan, bukan edisi penagihan utang. Hingga saat ini, katanya, Fauzi
belum melunasi biaya operasional yang dijanjikan. Ia membantah kalau jumlah
tagihannya mencapai Rp 86 juta. “Hanya Rp 40 jutaan kok,” tegasnya.
Namun Gatot buru-buru mengaku telah bertemu kembali
denganFauzi, baru-baru ini. Gatot menyanggupi untuk menghanguskan utang. Fauzi
pun sepakat, per Maret 2009 melanjutkan kontrak iklan kampanye caleg di harian
yang berdiri tahun 2001 itu. “Fauzi sudah kontrak iklan kampanye Rp 40 juta,”
kata Gatot.
Eko Budi Setianto menyadari kantornya telah main mata
dengan PT Indo, sejak ada perintah menulis berita yang ‘baik-baik’, November
2008. Ia tak pernah mengajukan protes langsung. Ia hanya bisa mengumpat dalam
hati. “Saya cuma dijadikan alat bor,” katanya setiap kali. Atau lebih tepat:
alat bor yang selalu kena getah.
Getah itu dirasakan Budi seiring dengan naik turunnya
temperatur berita Surabaya Pagi terhadap penambangan PT Indo. Jika
korannya sedang lembek terhadap perusahaan tambang itu, Budi ditinggalkan
teman-temannya, para penggiat LSM, aktivis dan kelompok penolak tambang, yang
biasanya menyumbang informasi. “Saya hubungi mereka atau kirim pesan tak
berbalas,” katanya.
Sebaliknya, jika beritanya tiba-tiba mengeras, Budi
disindir beberapa anggota dewan. “Kok, beritanya mengeras lagi, Mas..,” kata
salah seorang di antara mereka. Mendapat sindiran itu, Budi menjawab santai
sambil nyengir. “Betul, Pak, kerjasamanya batal,” katanya. Meskipun halus, tak
pelak, sindiran itu menghujam dadanya. “Dikira saya yang suka jual beli
berita,” kata Budi mengeluh.
Merasa hanya dijadikan alat, Budi sempat ingin keluar
dari kantornya. Ia sudah bersiap-siap menganggur sementara waktu, sambil
menyelesaikan buku tentang kesenian Seblang yang sudah ia gagas sejak lama.
Meskipun hanya lulus SMA, Budi dikenal sebagai sastrawan dan pengamat budaya
yang cukup dikenal, setidaknya di Banyuwangi. Tulisan dan puisinya banyak
dibukukan penerbit lokal. Bahkan ada dua puisinya yang masuk antologi puisi
nasional 2004, terbitan salah satu penerbit Yogyakarta.
Namun niatan mundur itu akhirnya ia urungkan. Beberapa
teman wartawan menyarankan agar ia bertahan, demi istri dan ketiga anaknya.
Anak pertamanya sudah masuk SMA, yang kedua mau masuk SMP, yang ketiga mau
masuk SD. Semua butuh ongkos tak sedikit. “Buat uang saku anak saja tiap hari
paling sedikit Rp 15 ribu, belum buku dan iuran ini itu,” katanya.
Budi pribadi juga perlu ongkos untuk liputan: bensin
untuk motor bebek yang menjadi alat operasinya, rokok, ongkos warnet dan pulsa
telepon. Gajinya yang hanya Rp 800.000 per bulan dari Surabaya Pagi,
memang tak pernah cukup. “Kalau saya tak kerja, lalu mau makan apa?” katanya.
Menggantungkan hidup menjadi penulis puisi, katanya, honornya sangat minim.
Istrinya, Darmawati, memang ikut menyumbang pemasukkan
keluarga. Perempuan 38 tahun itu bekerja sebagai guru TK dan membuka les tari.
Tapi, Darmawati juga harus membiayai kuliahnya yang belum selesai di IKIP PGRI,
Jember. Agar dapur tetap ngebul, Budi menghentikan kuliahnya di Sekolah Tinggi
Komputer Banyuwangi, yang baru dilakoninya tiga semester tahun 1996 lalu.
Bahkan, Budi terpaksa menghentikan cicilan rumah Tipe 36
di Perumahan Pesona Palem Raya, Kertosari, Banyuwangi. Mestinya tiap bulan ia
harus mengangsur Rp 500.000. Bulan Maret 2009 ini, tunggakannya ke BTN genap 10
bulan. Surat tagihan setiap kali dilayangkan ke rumahnya. “Tapi saya cuek,
gimana lagi, tak ada duit,” katanya.
Budi memang harus pintar-pintar mencari tambahan, atau
menurut istilah dia “nyeper”. Dalam musim kampanye yang baru lalu, ia nyeper
menjadi tukang desain stiker dan kalender calon anggota legislatif. Dari
sana ia bisa mengantongi Rp 200 ribu per calon.
Bagi Budi, menerima amplop dari narasumber juga merupakan
bagian dari “nyeper’. Amplop itu, katanya, untuk membuat ‘bebeknya’ bisa lari
mencari berita. Atau sekedar uang tambahan pulsa. Tapi, ia mengaku amplop yang
ia terima tak termasuk dari hasil jual beli kasus. “Saya tidak bisa kayak gitu.
Apalagi seperti yang dilakukan redaksi,” katanya. Seumur-sumur, dari PT Indo ia
hanya pernah menerima amplop Rp 100 ribu yang dibagi-bagikan seusai jumpa pers.
n
Sumber:
Wajah Retak Media: Kumpulan Laporan Penelusuran
© AJI Indonesia
Cetakan Pertama. Mei 2009
Diterbitkan oleh.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
Jl. Kembang Raya No.6 Kwitang-Senen
Jakarta Pusat 10420 – Indonesia
Tel. +62 21 3151214, Fax. +62 21 3151261
www.ajiindonesia.org
Tentang Penulis
IKA NINGTYAS
Kelahiran Surabaya, 24 tahun lalu ini, besar di
Banyuwangi karena harus mengikuti ayahnya yang bekerja sebagai guru. Sejak
kecil, Ika sudah bercita-cita menjadi wartawan. Begitu lulus dari bangku SMA
tahun 2003, Ika bergabung di Radio Komunitas Bung Tomo.
Beberapa bulan kemudian, ia menjadi wartawan di Koran
Kupas, salah satu koran lokal di Banyuwangi. Enam bulan di Koran Kupas, anak
sulung dari pasangan Andry Bustami dan Rosyidah ini menulis di Majalah GE-M
Independen Jembrana,Bali, Koran Banyuwangi dan Harian Fajar Bali.
Tahun 2005, Ika masuk media radio. Satu tahun sebagai
reporter di radio VIS FM Banyuwangi, kemudian menjadi manager news di radio
tersebut sejak tahun 2007 hingga awal 2008.
Pada pertengahan 2008, Ika menjadi koresponden Tempo
untuk Banyuwangi-Situbondo. Di tengah-tengah kesibukannya itu, Ika masih
menyelesaikan studinya di Jurusan Sejarah Universitas 17 Agustus 1945
Banyuwangi.
Perempuan yang hobi travelling ini bergabung di Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) kota Jember.
0 komentar:
Post a Comment