Kasus dugaan korupsi Sistem Administrassi Badan
Hukum yang menjadi headline di hampir semua media tidak nonggol di RCTI. Ada
intervensi pemilik modal?
Hari itu barangkali patut dirayakan sebagai salah satu
hari kemenangan gerakan anti korupsi. Pagi hari seorang mantan pejabat tinggi
dirjen ditangkap. Romli Atmasasmita, mantan direktur jendral pada Departemen
Hukum dan HAM ditahan kejaksaan atas tuduhan korupsi. Pada hari yang sama,
giliran Danny Setiawan, bekas Gubernur Jawa Barat yang diciduk Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) gara-gara kasus penggelembungan harga mobil
kebakaran.
Perang melawan korupsi memang tengah marak. Kejaksaan
Agung dan KPK seperti adu cepat membekuk koruptor. Dan gerak cepat seperti
ditunjukkan pada 10 November 2008 itu, agaknya perlu dicatat khusus: penahanan
Romli bisa menjadi awal terbongkarnya kasus Sisminbakum (Sistem Informasi Badan
Hukum, yang memungkinkan pendaftaran badan hukum dilakukan on-line), yang
ukurannya sungguh kolosal. Skandal ini diduga melibatkan sejumlah pejabat
tinggi negara, termasuk menteri, dan merugikan negara hingga hampir setengah
triliun rupiah. Tak mengherankan jika Romli menjadi ‘bintang’ media masa. Sejak
pagi hari sejumlah stasiun televisi, radio dan jaringan berita on-line
(newswires) terus menggebernya sebagai sajian utama. Malamnya, penahanan Romli
ditempatkan sebagai headline oleh hampir semua stasiun televisi. Hampir semua,
tapi tidak Seputar Indonesia. Siaran berita andalan stasiun berita RCTI itu
tak menayangkan penahanan Romli, tidak pula Danny.
Ada apa? Apakah Seputar Indonesia kecolongan? Pertanyaan
sepele ini ternyata perlu jawaban panjang lebar.
Rapat Redaksi RCTI malam itu lebih hangat dari
biasanya. Di seputar meja rapat berbentuk bulat, duduk belasan anggota redaksi:
manajer produksi berita, produser pelaksana, kepala liputan, beberapa produser.
Pemimpin Redaksi Arief Suditomo tidak hadir. Begitu juga wakil pemimpin redaksi
Putra Nababan. Rapat yang dipimpin Produser Eksekutif Seputar Indonesia Avida
Virya itu memasuki area paling genting: mengapa RCTI tak punya liputan
soal penahanan Romli.
Kepala Liputan Dandhy Dwi Laksono mengatakan, Sisminbakum
jelas masuk kriteria layak berita – diukur dengan pertimbangan apapun.
Perhatian publik luar biasa, kejaksaan telah pula menetapkan tiga dirjen
sebagai tersangka, dan kerugian negara ekstrabesar. Tak ada alasan untuk tak
meliput penahanan Romli. Lalu mengapa materinya tak nongol? “Apa kita dilarang
meliput kasus ini?” katanya.
Beberapa saat sebelum rapat Dandhy mengontak Tunggal
Siregar, reporter yang biasa mangkal di Kejaksaan Agung. Ia menanyakan mengapa
Tunggal tak punya bahan liputan Romli. Awalnya Tunggal berkilah ia harus
meng-cover agenda lain. Tapi Dandhy tak percaya. Setelah dicecar, reporter ini
mengaku diminta Pemimpin Redaksi Arief Suditomo agar tak meliput penahanan
Romli.
Dandhy terkejut. Ia meradang mendengar pengakuan itu. Ia
mengigatkan, sebagai reporter Tunggal seharusnya melapor kepada Koordinator
Liputan, atasannya langsung. “Sensor tak boleh terjadi sejak di lapangan,”
katanya.
Keterangan Tunggal inilah yang dibawa Dandhy ke ruang
rapat malam itu. “Jika kita dilarang menayangkan Sisminbakum,” katanya, “Kita
juga tak bisa memberitakan kasus korupsi yang lain.” Logikanya, jika
Sisminbakum “disensor” dan kasus korupsi lain diliput, berarti RCTI main
tebang pilih. “Sama halnya kita melindungi maling, sambil menelanjangi maling
yang lain,” tambah Dandhy.
Dilihat dari struktur kepemilikan, RCTI memang
termasuk dalam keluarga besar kelompok yang terserempet kasus Sisminbakum.
Program komputerisasi di Departemen Hukum dan HAM ini dikelola PT Sarana
Rekatama Dinamika (SRD) yang merupakan ‘sepupu’ RCTI. Bersama-sama PT
Media Nusantara Citra Tbk (MNC, holding yang memiliki RCTI), Sarana
adalah ‘cucu’ dari PT Bhakti Investama, perusahaan yang
dikuasai keluarga Tanoesoedibjyo.
Rapat malam itu kemudian sedikit melebar. Jika kasus yang
melibatkan kelompok usaha tak bisa diliput, sebagian anggota redaksi menuntut
manajemen segera membuat rambu-rambu: daftar apa saja yang haram ditayangkan.
Namun Dandhy menolak gagasan ini. Ia tetap ngotot agar RCTI memperlakukan
kasus Sisminbakum sama seperti kasus-kasus korupsi yang lain. “Kita harus tetap
fight,” katanya.
Hingga malam rapat selesai, tak ada kesepakatan yang
bulat, kecuali: tak ada berita korupsi yang naik tayang. Tidak Romli, tidak
juga Danny. Semua kena embargo. Sampai kapan? Tak ada batas waktu yang
ditetapkan.
Yang pasti, sejak malam itu, Seputar Indonesia memang
bersih dari berita korupsi. Namun entah mengapa, dua hari kemudian,
berita-berita korupsi, termasuk kasus Sisminbakum sudah muncul kembali.
Di sela-sela rapat malam itu, Dandhy sempat berkirim
pesan kepada Pemimpin Redaksi Arief Suditomo. Ia menanyakan alasan mengapa
liputan Sisminbakum dilarang. Jawaban Arief–juga melalui pesan pendek lewat
handphone—merisaukan Dandhy, “Jelas, karena milik HT”.
HT adalah sebutan sehari-hari untuk Hary Tanoesoedibjyo,
pemegang kontrol Bhakti Investama, kapal induk yang membawai aneka macam usaha
mulai dari media sampai telekomunikasi, keuangan hingga penyewaan pesawat. Di
anak-anak perusahaan itu, Hary menempatkan abang dan adiknya sebagai pengurus
dan pengelola. Pada PT Bhakti Asset Management, yang membawai PT Sarana
(pengelola Sisminbakum), duduklah Hartono Tanoesoedibjyo, salah satu kakak
Hary.
Kala itu, nama Hartono memang mulai disebut-sebut dalam
kasus Sisminbakum. Yohannes Waworuntu, Direktur Utama PT Sarana, yang
ditetapkan sebagai tersangka mengaku ia hanya boneka Hartono. “Saya dipaksa
menjadi dirut dengan imbalan utang saya yang besarnya Rp 1 milyar dianggap
lunas,” katanya kepada media. Sejauh ini, status Hartono dalam kasus itu masih
sebatas saksi.
Bagi Dandhy, pesan pendek Arief itu tiba-tiba tak membuat
semuanya menjadi terang benderang. Ia tak pasti betul apakah pelarangan itu
order langsung dari HT atau kebijakan Arief semata. Tapi bagi Dandhy, dan
anggota redaksi RCTI, ini bukan campur tangan yang pertama. Ia hanya
mengatakan, “Tiap kali ada pemberitaan yang dianggap merugikan, Hary selalu
ikut campur.” Yang jelas, beberapa pekan kemudian,
intervensi manajemen terjadi lagi: RCTI dilarang
menayangkan berita kutipan wawancara dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang
‘berbau’ Sisminbakum.
Ceritanya, akhir 2008, Menteri Keuangan terpilih sebagai
“People of the Year 2008” versi harian Seputar Indonesia (untuk membedakan
dengan nama acara di RCTI, selanjutnya disebut Sindo), koran yang juga
dimiliki MNC. Reporter RCTI Bima Marzuki yang meliput acara itu sempat
minta pendapat Menteri Sri Mulyani tentang rekening liar yang memang tengah
dihebohkan. Konteksnya biaya perkara di Mahkamah Agung. Menteri menegaskan,
semua penerimaan dari dari kegiatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat
pemerintah, mestinya masuk ke pos penerimaan negara bukan pajak alias PNBP.
Mendengar penjelasan ini, Hary yang berada tak jauh dari
Ibu Menteri lantas bergegas mendekati Sururi Alfaruq, Pemimpin Redaksi Sindo.
Hary, orang yang menurut Forbes memiliki kekayaan US$ 250 juta (sekitar Rp 2,5
triliun) itu meminta Sururi menemui Bima. Begitu wawancara selesai, Bima
dicolek Sururi Alfaruq, Pemimpin Redaksi Sindo.
“Bim, untuk wawancara yang tadi, Pak HT minta jangan
tayang,” katanya Sururi seperti ditirukan Bima Marzuki.
“Bagian yang mana?” tanya Bima.
“Semuanya,” jawab lelaki ceking yang dikenal sebagai
orang kepercayaan Hary itu.
“Loh kenapa?” Bima mencoba menawar.
“Pak HT khawatir wawancara itu menimbulkan salah
persepsi.” ‘Persepsi’ yang dimaksud Sururi tentu berkaitan dengan PNBP. Biaya
akses Sisminbakum yang merupakan salah satu bentuk pelayanan pemerintah
semestinya masuk ke kas negara seperti PNBP yang lain. Selama ini, dari Rp
1.685.000 biaya yang dibayarkan notaris untuk mendapat pelayanan Sisminbakum,
hanya Rp 200.000 yang masuk PNBP. Selebihnya, Rp 135.000 untuk PPN dan, yang
paling gede, Rp 1.350.000 masuk sebagai ‘biaya akses’. Pos terakhir inilah yang
kemudian dibagibagi: 90 persen masuk ke kantong PT Sarana dan sisanya ke
koperasi pegawai Departemen Hukum dan HAM.
Laporan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
menunjukkan, sejak 1 Januari 2001 – 30 September 2002, terdapat 54.400
permohonan pengesahan lewat Sisminbakum. Artinya, selama periode 21 bulan
tersebut, PT Sarana meraup Rp 66 miliar lebih, sedangkan negara hanya memungut
tak sampai Rp 11 miliar. Kejaksaan Agung menilai, pembagian yang timpang ini
disepakati karena Sarana ‘membujuk’ pejabat negara menyetujui proyek ini.
“Mereka tak hanya menggunakan fasilitas negara untuk memungut uang rakyat. Tapi
juga menikmatinya,” kata Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus Marwan Effendi.
Kekhawatiran adanya salah ‘persepsi’ dan larangan tayang
itu dilaporkan Bima kepada bosnya, Wakil Pemimpin Redaksi RCTI Putra
Nababan. Menurut Bima, saat itu juga Putra mengontak Sururi. Tapi Sururi tetap
mendesak RCTI agar memenuhi permintaan Hary. Meskipun dilarang, Bima
tetap membuat naskah liputan. Melalui koordinator liputan, naskah itu
diserahkan kepada Pemimpin Redaksi Arief Suditomo. Setelah diberi catatan,
naskah tersebut dikirim Arief kepada Hary melalui faksimil. Bima sempat
mengintip catatan itu: pemimpin redaksi minta izin agar liputan Bima dapat
ditayangkan. Hasilnya? Berita Kutipan wawancara Bima tentang PNBP dengan
Menteri Keuangan itu tak pernah tayang di RCTI.
Kisah pelarangan ini tak dibantah oleh Sururi, tapi juga
tak dibenarkan. Ia menolak memberikan jawaban. “Kami sedang konsolidasi
internal,” katanya ketika ditemui di kantornya, Kompleks Menara Kebon Sirih.
“Saya tak mau ngomong kalau menyangkut kasus itu,” tambahnya ketika ditemui di
kantornya, Kompleks Menara Kebon Sirih dengan muka mengkerut sambil Sururi
ngeloyor pergi ke sebuah ruang pertemuan.
Pemimpin Redaksi Arief Suditomo juga tak mau berkomentar.
Setelah berkali-kali menolak permohonan wawancara, Arief akhirnya dapat ditemui
di lobi salah satu kantornya, di Menara Kebon Sirih. Dia berbaju putih
mengenakan celana gelap. Meskipun sudah bertemu muka, ia masih enggan memberi
keterangan. “I don’t have anything untuk di-share. Maaf, mas,” katanya
sambil memasuki kantor, melewati dua orang petugas keamanan.
Campur tangan pemberitaan pemilik dalam kasus Sisminbakum
bukan hanya dialami RCTI tapi juga pada portal berita Okezone,
juga milik MNC. Di portal ini, berita Sisminbakum pertama kali nongol
pada 14 Oktober 2008. Isinya: rencana kejaksaan mengungkap indikasi korupsi.
“Biaya akses Sisminbakum tak mengalir ke kas negara, tapi
ke rekening PT SRD,” demikian penggalan berita tersebut. Tampaknya, pada awal-awal
munculnya isu Sisminbakum, Okezone relatif berimbang.
Tapi belakangan, apalagi sejak Romli ditahan dan peran
Hartono diributkan, menurut keterangan sumber di Okezone, saat itulah Pemimpin
Umum David Fernando Audy mulai ‘menyetir’ arah pemberitaan.
Reporter diminta untuk lebih banyak memberikan porsi
kepada Sarana atau Yusril Yusril Ihza Mahendra, bekas Menteri Hukum dan HAM
yang mengambil keputusan tentang program komputerisasi itu. Dari 80 berita
Sisminbakum yang ditulis Okezone, 16 menggunakan Sarana sebagai
narasumber utama dan 15 memanfaatkan Yusril. Hanya 10 yang mengutip jaksa. Itu
pun separohnya dimuat sebelum Romli ditahan.
Selain ‘banting setir’, Okezone juga mencabut
berita-berita yang dianggap merugikan Sarana. Pencabutan dilakukan hingga ke
tembolok, sehingga berita yang pernah tayang tak bisa lagi dikorek-korek lagi
meskipun menggunakan mesin pencari yang canggih. Melalui mesin pencari internal
di Okezone, tercatat ada 81 berita yang memakai kata “sisminbakum”.
Namun ketika ditelusuri di mesin pencari publik, hanya
tersisa 48 saja yang masih tayang. Sisanya lenyap secara misterius. Selain
menempatkan David (ipar istrinya) sebagai pemimpin umum, Hary juga
memperbantukan Sururi, Pemimpin Redaksi Sindo, sebagai Ketua Sidang Redaksi di Okezone.
Menurut lembaga pemeringkat internet, Alexa Internet, April 2009, Okezone yang
relatif muda usia ini, menempati urutan ke-23 situs yang paling dikunjungi di
Indonesia. Rata-rata Okezone menaikkan 300 berita per hari, termasuk
berita dari tim redaksi RCTI dan Sindo.
Sama seperti Arief dan Sururi, David juga menolak
memberikan keterangan soal campur tangan Hary dalam kasus Sisminbakum. Meskipun
posisinya sebagai kepala hubungan investor MNC, anak muda yang belum berumur 30
tahun itu sangat irit berkata-kata. “Mengapa Anda menulis soal itu?” katanya.
Selebihnya, David bungkam. Tiap kali dihubungi, telepon genggamnya tak pernah
diangkat. Sekretarisnya mengatakan jadwal rapatnya penuh.
Catatan:
Akhir November 2008, Dandhy mengundurkan diri dari RCTI.
Manajemen RCTI menerima pengunduran dirinya akhir Januari 2009. Sejak
Februari 2009, Dandhy menempuh jalan hidup baru sebagai penulis lepas.
Sumber:
Wajah Retak Media: Kumpulan Laporan Penelusuran
© AJI Indonesia
Cetakan Pertama. Mei 2009
Diterbitkan oleh.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
Jl. Kembang Raya No.6 Kwitang-Senen
Jakarta Pusat 10420 – Indonesia
Tel. +62 21 3151214, Fax. +62 21 3151261
www.ajiindonesia.org
Tentang Penulis :
WIDIYANTO
Lahir di Tenggeles, sebuah desa kecil tujuh kilometer
arah timur kota Kudus, Jawa Tengah, 27 tahun lalu. Hidup di lingkungan keluarga
sederhana yang tak pernah membayangkan bekerja sebagai jurnalis atau peneliti.
Namun, Ia lebih suka dengan dunia jurnalisme maupun analisis.
Pertama kali bersentuhan dengan jurnalisme saat berada di
bangku kuliah ini dengan bergabung pada lembaga pers mahasiswa “Himmah”.
Media ini dua kali dibreidel Orde Baru! Selepas kuliah,
persisnya Maret 2005, Ia mulai bekerja sebagai redaktur jurnal hukum JENTERA
yang diterbitkan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Selama
tiga tahun di media tersebut dengan menerbitkan puluhan artikel bidang hukum.
Sempat bergabung dengan Komunitas Pantau selama lima tahun, dan telah mendapatkan
banyak pelajaran penting mengenai jurnalisme.
Pada pertengahan 2008, Ia keluar dari Komunitas Pantau.
Bersama sejumlah jurnalis, penulis, dan aktivis muda memilih mendirikan satu lembaga
baru bernama Aceh Feature (www.acehfeature.org) pada September 2008.
Baginya, ”Passion adalah jurnalisme meski belakangan Ia juga terlibat
dalam sejumlah penelitian, karena keduanya bisa seiring sejalan”.
0 komentar:
Post a Comment