Sunday, December 1, 2013
0 komentar

Saat Jurnalis Berpolitik

9:34 AM
Di Kalimantan Barat, puluhan jurnalis berebut menjadi calon anggota legislatif. Saat maju dalam pencalonan, sebagian besar dari mereka tidak menanggalkan profesi kewartawanannya.

jurnalis berpolitik
Keinginan menjadi jurnalis awalnya tak pernah terlintas dalam benak Tanto Yakobus, 35 tahun. Dia hanya mencoba-coba profesi ini karena tidak ada pekerjaan lain, setelah lulus dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura pada 1997.

Kisahnya, saat itu, Tanto mengantar temannya, Rusli, yang memasukan lamaran di hari terakhir ke Harian Suaka. Kebetulan, di jok motornya, Tanto menyimpan foto copi ijazah kuliahnya. Dia pun ikutikutan mengirimkan lamaran. Eh, malah Tanto yang diterima bekerja. Sedangkan lamaran Rusli ditolak.

Tapi, setelah enam bulan bekerja, Tanto mulai merasakan asyiknya menjadi jurnalis. Salah satu penyebabnya, di profesi ini Tanto merasa bekerja dengan orang-orang yang punya ‘kemampuan’.

Sayangnya, koran tempat Tanto bekerja tak bertahan lama. Selepas koran itu bangkrut, Tanto pindah kerja sebagai koresponden majalah Gatra dan Forum di Kalimantan Barat. Ia pernah menjadi redaktur di Harian Equator. Ini sebuah koran grup Jawa Pos di Kalbar. Sekarang ini, Tanto menjadi Wakil Pemimpin Redaksi di Borneo Tribune.

Borneo Tribune adalah sebuah koran harian yang didirikan di Pontianak pada 19 April 2007. Pemegang sahamnya, para pengusaha, politikus, dan pengacara lokal di Kalbar. Berdiri sendiri dan tak punya afiliasi pada koran nasional.

Ketertarikan Tanto pada dunia politik bermula ketika ia ikut arisan orang Sekadau, Paguyuban Patih Sanggar Singaria, di Pontianak. Nama itu diambil dari nama Patih Sangaria, seorang Temenggung dari Sekadau.

Situasi daerah ketika itu, ada berbagai keinginan dari para elit politik lokal untuk memekarkan wilayah. Motifnya bisa ditebak, dengan terbentuknya wilayah baru, bakal ada berbagai posisi jabatan di pemerintahan dan ada anggota legislatif di DPRD. Meski begitu, alasan yang muncul ke permukaan adalah, pemekaran diperlukan agar rentang
kendali pembangunan bisa dipangkas. Apalagi di wilayah yang luas seperti Kalbar.

Aktivitas Tanto Yakobus di dunia politik makin mengental saat terjadi pemekaran Kabupaten Sekadau dari Kabupaten Sanggau pada 2003. Sekadau dulunya bekas kawedanan.

Ada 30 orang penggagas awal pemekaran. Sebagian besar adalah pegawai negeri sipil. Hanya tiga orang bukan PNS. Ketiganya, Tanto, Tauhid dan Johan. Tanto mengikuti dari awal proses itu. Bahkan, dalam berbagai rapat di gedung DPRD dan DPR RI di Jakarta, ia turut serta.

Selepas Kabupaten Sekadau terbentuk, Johan berkata pada Tanto, “Kita ini sudah lahirkan Sekadau, tapi tak dapat apa-apa. Kalau mau berpartisipasi di Sekadau, hanya ada satu cara. Ikut partai politik dan jadi dewan,” kata salesman minyak pelumas Shell itu.

Tanto pun tergiur ajakan Johan. Pada 2004, dia masuk ke Partai Demokrat. Tapi, Tanto membantah dia latah atau ikut-ikutan. “Sekarang ini masa yang pas. Umur 35, masa untuk mengubah pekerjaan satu dengan lainnya,“ kata dia. Alasan lain, “Ternyata tangan aku tak sanggup lagi mengubah orang dengan tulisan. Aku ingin mengubah orang dengan mulut aku dengan menjadi anggota Dewan.”

Tanto jadi caleg di wilayah Kalbar 6, daerah pemilihan Sanggau dan Sekadau. Jumlah pemilih di dua kabupaten ini sebanyak 415.736 orang. Pemilih lelaki 214.830 orang. Pemilih perempuan 200.906 orang.

Harry Adrianto lelaki energik. Pembawaannya selalu waspada. Khas seorang jurnalis. Ia biasa dipanggil Harry Daya. Daya berasal dari kata Dayak. Panggilan itu diperoleh, semasa ia kuliah di Jurusan Jurnalistik, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Temannya menganggap, karena berasal dari Kalimantan, berarti orang Dayak. Panggilan itu telah melekat hingga kini. Orang lebih mengenal Harry Daya, daripada Harry Adrianto.

Sedari kuliah, ia sudah menjadi jurnalis. Ia pernah bekerja sebagai reporter Harian Pontianak Post yang ditempatkan di Jakarta. Selepas itu, menangani beberapa media di Bogor. Akhirnya, ia kembali ke Pontianak, dan menjadi Redaktur Pelaksana di Harian Equator. Selepas itu, ia menjadi koresponden Majalah Tempo di Kalbar.

Sebagai anak rantau yang pernah melihat berbagai daerah dan permasalahan, dia membandingkan kehidupan masyarakat di perantauan dengan tempat tinggalnya. Ia tinggal di kompleks Transat Pontianak, tempat tinggal para pensiunan tentara.

“Ada sesuatu yang salah,” kata Harry, “ada banyak ketidakadilan.” Di mata Harry, kehidupan penghuni asrama seolah mandeg, bahkan mengalami kemunduran. Kehidupan warga tak teratur dan miskin. Para pemuda menganggur dan tak ada pekerjaan.

Pada Pemilu 2004, Harry marah dengan Partai Golkar. Alasannya, Golkar tidak memperhatikan kompleks itu. Padahal, setiap berlangsung Pemilu, penghuni komplek selalu menjadi pendukung setia partai berlambang beringin ini. Karenanya, Golkar selalu menang di kompleks itu.

Ia melihat anggota dewan sering lupa daratan. Mereka membawa berbagai sumbangan menjelang Pemilu. Tapi, ketika sudah terpilih, mereka tak muncul lagi.

“Saya sangat sedih, karena Transat sebagai basis Golkar, tapi diperlakukan secara semena-mena oleh orang Golkar,” kata Harry pada sang petinggi partai.

Akhirnya, pada 2005, Harry dan kawan-kawan membentuk sebuah organisasi. Namanya, Forum Anak Kolong (FAK). Misinya menyatukan semua anak kolong di setiap wilayah agar bisa eksis di bidang sosial, ekonomi dan politik. Anggota FAK pun dilarang meminta-minta sumbangan. Itu hal memalukan.

FAK membebaskan kadernya masuk ke partai manapun. Harry masuk ke Partai Persatuan Daerah (PPD) dan diberi nomor urut satu. “Setelah menjadi anggota DPRD, saya berharap bisa jadi jembatan warga untuk hal yang lebih baik,” kata Harry.

Namanya hanya satu kata, Holdi. Namun, lompatan hidup yang ingin dia lakukan tak sependek namanya. Dia salah satu penganut semboyan hidup, “Life begins at fourty.” Karena itu, pada umur 40 tahun, dia ingin membuat sebuah lompatan pada jalan hidupnya. Dia mencoba alih profesi dan mengejar keinginan menjadi anggota Dewan.

Holdi besar di Kabupaten Sambas, sekitar 250 kilometer dari Pontianak. Masa kecil hingga SMA, dia jalani di Sambas. Selepas SMA, Holdi kuliah di STAIN Pontianak. Selesai kuliah, dia bekerja sebagai jurnalis di Harian Pontianak Post, salah satu anak Jawa Pos Grup. Holdi sempat dipindahkan ke Harian Equator sebagai redaktur, ketika koran itu baru terbentuk. Namun, dia pindah lagi ke koran induk sebagai redaktur, hingga menjadi Redaktur Pelaksana.

Meski sudah lama tinggal di Pontianak, dia selalu ingat dengan daerah asalnya. Kekerabatan dan persaudaraan masyarakat Sambas, memang terkenal dan kuat.

Ia melihat keluarga dan masyarakat di Sambas, masih tertinggal. Dia merasa, di Pontianak dia tidak bisa membuat banyak hal untuk kampungnya. Kalau untuk sekedar membuat berita, bisa saja dia lakukan. Tapi dia merasa itu tak riil, karena tak langsung terjun ke masyarakat. Apalagi sebagai petinggi di Pontianak Post, dia terikat dengan pekerjaan dan rutinitas.

Ia ingin membangun kampung halaman. “Belasan tahun meninggalkan kampung halaman, tapi tak ada yang dibuat,” kata Holdi. Dengan alasan ingin membangun daerah, Holdi masuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kini, ia menjadi Caleg dari PPP untuk DPRD Provinsi Kalbar, Daerah Pemilihan Sambas. Ia mendapat nomor urut dua. “Masyarakat mesti diadvokasi, dan diberikan bantuan modal pembangunan,” kata Holdi.

Endang Kusmiyati sosok seorang pekerja. Karakternya kuat dan bersemangat. Saking semangatnya, terkadang ia juga harus bergesekan dengan orang lain, atau rekan kerjanya. Ada sikap yang selalu menonjol dan dilihat dari sosok ini. Ia memiliki sikap kritis. Begitu juga dengan rasa ingin tahu tentang suatu permasalahan. Ia besar dan tumbuh di wilayah transmigran di Kabupaten Sintang.

Para transmigran masuk ke Sintang, pada 1981. Menurut penilaian Endang, pemerintah tak memberikan fasilitas atau sarana infrastruktur memadai. Mereka ibarat dibuang di tengah hutan. Tanah pertanian gersang, karena gambut begitu tebal. Bahkan, hingga sekarang pun, masih banyak daerah di Satuan Pemukiman (SP) transmigran yang jalannya tak bisa ditembus kendaraan. Jalan belum beraspal. Bila turun hujan, lumpur begitu pekat.

Endang sekolah SD hingga SMA di Sintang. Lulus dari sekolah, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Pertanian, Jurusan Ilmu Tanah, Universitas Tanjungpura di Pontianak. Masuk pada tahun 1998, melalui jalur non utul (ujian tulis) atau mendapat PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). Ia sempat cuti selama empat semester, dan menyelesaikan kuliah pada 2007.

Semenjak kuliah, ia aktif di berbagai kegiatan kampus. Ada kegiatan pers dan lembaga studi kampus. Dari kegiatan itu, ia memperoleh banyak pengalaman. “Semasa kuliah inilah, saya belajar berpolitik kecilkecilan,” kata Endang. Misalnya, ia terlibat dalam pemilihan organisasi, baik intern maupun ekstern kampus.

Untuk belajar komunikasi dengan masyarakat, ia mendapatkannya ketika bergabung di NGO atau LSM, dan lembaga sosial lainnya. Di organisasi ini, ia melakukan pendampingan masyarakat.

Selepas kuliah, ia pernah bekerja di beberapa media massa dan NGO. Sekarang ini, Endang bekerja sebagai reporter, dan menjadi kepala biro Sintang, untuk Harian Borneo Tribune.

Endang masuk sebagai calon legislator dari Partai Amanat Nasional (PAN), untuk daerah pemilihan Sintang dengan nomor urut satu. Alasan masuk ke dewan? “Ini memungkinkan kaum perempuan punya peran lebih baik dalam pembangunan,” kata Endang. Ia melihat, khususnya di Sintang, tokoh perempuan masih malu tampil.

Selain sosok-sosok tadi, masih ada puluhan jurnalis di Kalimantan Barat yang mencoba keberuntungan di dunia politik. Mereka menjadi bagian dari 1.183 calon anggota DPRD Provinsi yang memperebutkan 55 kursi dan 8.623 calon anggota DPRD Kabupaten/Kota yang memperebutkan 480 kursi.

Rupanya, banyak alasan bagi partai politik untuk merangkul para jurnalis menjadi calon legislator. Antara lain kebutuhan akan kader berkualitas, kepentingan pragmatis, dan kaderisasi yang tidak berjalan di internal partai.

Hartono Azas, Ketua Partai Demokrat yang juga Wakil Ketua DPRD Kota Pontianak, mengatakan, partai politik memang memerlukan media untuk memperkenalkan visi, misi, dan programnya kepada masyarakat. Karena itulah, beberapa tokoh politik berusaha menjadi pemegang saham di perusahaan media.

Kalaupun tidak bisa memiliki saham di media, partai politik bisa merekrut jurnalis menjadi kadernya. Para jurnalis kader partai, kata Azas, diharapkan mampu berkomunikasi lebih baik dengan masyarakat. “Karena kunci politik adalah, bagaimana membangun komunikasi dengan baik,” kata Azas.

Kalangan politikus juga menganggap jurnalis lebih mengetahui cara menyampaikan pesan melalui media. “Mereka memiliki cara komunikasi yang efektif. Bahasanya mudah dimengerti,” ujar Azas.

Dengan segala kelebihannya, jurnalis diharapkan bisa menyebarluaskan visi dan misi partai, sekaligus menarik simpati masyarakat untuk mendukung cita-cita partai. “Pencitraan penting untuk politisi. Salah satu caranya melalui media massa,” kata Azas.

Keuntungan bagi partai yang merekrut jurnalis, menurut Azas, bergantung pada bobot nilai dan informasi yang disampaikan si jurnalis kepada masyarakat. “Yang pasti, bagi jurnalis aktif yang bekerja di media, akses untuk meloloskan berita lebih gampang,” kata Azas.

Meski begitu, menurut Azas, informasi yang tidak disampaikan secara proporsional dan obyektif belum tentu menguntungkan partai. Soalnya, masyarakat tidak akan langsung percaya berita di media yang mereka ketahui sebagai corong salah satu partai. “Pembaca yang cerdas tidak mudah terprovokasi sebuah berita,” kata dia.

Asmaniar, anggota DPRD Kalbar dari PAN mengatakan hal berbeda. Alasan partai merekrut jurnalis menjadi caleg bukan karena partai tertarik oleh “kehebatan” jurnalis. “Partai kekurangan orang. Siapapun diterima sepanjang punya potensi,” kata dia.

Soal potensi, menurut Asmaniar, jurnalis memang memiliki modal awal yang lebih baik ketimbang calon politikus lain. Jurnalis terbiasa berhubungan dengan banyak orang dan biasa mengakses ke banyak sumber informasi. Ketika diajak berpolitik, “Tinggal dipoles sedikit saja,” kata Asmaniar.

Etika dan Profesionalitas
Untuk menghindari konflik kepentingan, organisasi jurnalis seperti Aliansi Jurnalis Independen melarang pengurus dan anggotanya menjadi pengurus salah satu partai politik. Jika ada pengurus atau anggota AJI yang berminat terjun ke dunia poilitik, dia harus menanggalkan keanggotan dan kepengurusannya di AJI.

Kebijakan yang sama juga diterapkan oleh sedikit perusahaan media yang wartawannya ingin menjadi pengurus partai atau calon anggota legislatif. Kalaupun tidak diminta mundur sebagai karyawan, si jurnalis biasanya dinonaktifkan dari pekerjaan dan jabatan keredaksian.

Tapi, tidak semua media menerapkan kebijakan seperti itu. Masih ada media yang mengizinkan karyawannya berperan ganda: sebagai wartawan sekaligus sebagai aktor politik.

Manajemen redaksi Pontianak Post, misalnya, pernah tak memperbolehkan jurnalis terlibat di dunia politik atau menjadi caleg. “Namun, aturan itu hanya di mulut saja. Tak ada yang tertulis,” kata Holdi.

Saat menjadi caleg, Holdi mengajukan surat cuti panjang di luar tanggungan. Ia punya tekad bulat jadi caleg. Jadi, ia siap menghadapi peraturan itu. “Kalau tidak diperbolehkan, ya, berhenti. Kalau masih diperbolehkan, ya, terima kasih,” kata Holdi.

Pemimpin Redaksi Pontianak Post, Salman, mengatakan, medianya kini membuat aturan lebih longgar. “Kebijakan itu tak lepas dari pengalaman masa lalu,” kata Salman.

Pada Pemilu 2004, jurnalis Pontianak Post yang menjadi caleg hanya diberi dua pilihan: batal menjadi caleg atau mundur sebagai jurnalis. Saat itu, ada tiga wartawan Pontianak Post yang menjadi caleg. Ternyata, satu orang memilih tetap jadi jurnalis. Dua orang lainnya memilih keluar dan menjadi caleg, meskipun gagal.

Pada Pemilu 2009, jurnalis yang mendaftar jadi caleg bisa mengambil cuti non aktif selama empat bulan. “Kalau dipangkas kasihan mereka, toh karyawan kami juga,” kata Salman. Seandainya si jurnalis tidak terpilih menjadi Dewan, dia bisa balik lagi ke Pontianak Post. Tapi, mesti membuat surat lamaran baru. Perusahaan pun berhak menempatkan mereka di mana saja. “termasuk di bagian iklan atau pemasaran.”

Holdi sendiri mengaku tak pernah memanfaatkan posisinya di Pontianak Post untuk kepentingan pencalonan dirinya. Kalau ada undangan dari Partai Persatuan Pembangunan, Holdi biasanya meminta jurnalis lain untuk meliput. Holdi paling membekali si jurnalis dengan nomor kontak narasumber yang bisa diwawancarai. “Kalau ada kawan di PPP yang dianggap bermasalah, biasanya saya memberi tahu supaya kawan di partai itu memberi jawaban,” kata Holdi.

Tapi, dalam arsip berita di website Pontianak Post, sebagai partai yang hanya mendapatkan kursi mendekati 15 persen, PPP mendapatkan pemberitaan yang lumayan banyak, hanya dikalahkan oleh Golkar. Selain itu, berita tentang PPP kebanyakan bernada positif.

Pada edisi 6 September 2008, misalnya, Pontianak Post memuat berita berjudul Noureris Terharu dengan Dukungan Masyarakat, DPC Segera Kirim Aspirasi Dukungan ke DPW PPP. Berita berisi cerita tentang dukungan masyarakat yang menyampaikan aspirasi ke DPC PPP Ketapang, agar Noureris Flyanshar, ditempatkan sebagai Caleg nomor urut satu, mewakili Ketapang untuk DPRD Provinsi.

Citra PPP sebagai partai Islam juga tergambar dengan baik dalam berita edisi 22 Juli 2008, berjudul Jaring Pencalegan. Dalam menjaring caleg, selain berpedoman pada undang-undang, PPP juga membuat aturan internal partai. Misalnya, calon harus bisa mengaji atau membaca al-Quran. Berita itu juga menyebutkan, PPP terus membuat program untuk konsolidasi partai, mengokohkan garis perjuangan, dan ikut memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.

Di Pontianak Post, PPP juga tergambar sebagai partai yang selalu kompak. Pada edisi 9 Juli 2008, dimuat berita berjudul, Ahmadi Usman: PPP Dikenal Paling Solid. Berita ini menjelaskan, kader PPP selalu kompak dalam menjalankan segala kebijakan fraksi maupun partai.

Lihat juga berita edisi 7 Juli 2008 yang berjudul Target Menang di Empat Pilkada. Disebutkan, sebagai partai besar di Indonesia, dengan perolehan suara di papan atas, DPW PPP Kalbar mematok target besar dalam Pilkada Kabupaten/Kota. Padahal, pada Pemilu 2004, dari 46 anggota DPRD Kalbar, PPP hanya menempatkan 7 kursi.

Berita tentang konflik internal PPP memang dimuat Pontianak Post. Pada 15 Januari 2004, muncul berjudul Pengajuan Caleg, Parpol Dilanda Konflik Internal. Tapi, materi beritanya bernada positif juga. Disebutkan, konflik internal soal nomor urut caleg itu diselesaikan dengan baik dengan berpedoman atas instruksi pemimpin partai.

Adapun Harry Daya memilih tidak memberi tahu majalah Tempo, media tempat dia mengirim berita sebagai koresponden. “Saya tidak tahu apakah kantor tahu atau tidak (soal pencalonan saya),” kata Harry.

Harry mengklaim, pencalonan dirinya tak berpengaruh pada berita yang dia kirim ke Jakarta. Caranya, agar bisa netral, sejak ditetapkan sebagai calon, Harry cuti dari penulisan berita politik. Adapun berita di luar politik, Harry masih membuatnya.

Harry menempuh cuti menulis berita politik juga untuk menghindari tekanan atau kecurigaan dari partai lain. “Ini dilakukan sendiri. Tahu diri sesuai dengan hati nurani,” kata Harry.

Sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Borneo Tribune, Tanto Yacobus mencoba memainkan peran ganda. “Kalau masuk ke kantor jadi jurnalis. Kalau masuk ke politik, tinggalkan status jurnalis,” kata Tanto.

Tanto tentu saja punya kesempatan menulis apa saja. Sebagai contoh, pada 15 Agustus 2008, Tanto menulis berita berjudul Presiden SBY Instruksikan Partai Demokrat Pakai Suara Terbanyak. Pada edisi 21 Agustus 2008, Tanto juga menulis berjudul Partai Demokrat Andalkan Figur Muda. Dalam beberapa kesempatan, Tanto juga menulis kegiatan Ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Sekadau, Simon Petrus, yang juga Bupati Sekadau.

Tanto juga pernah menulis sejumlah tajuk di Borneo Tribune untuk menyuarakan keinginan dan sudut pandangnya. Misalnya, Tanto menulis artikel berjudul Menjadi Pemain untuk mengungkapkan alasan alasan dia menjadi caleg dari Partai Demokrat.

Meski begitu, Tanto mengaku telah berupaya menjaga kenetralan ruang redaksi dari pencalonan dirinya. Caranya, pengeditan berita-berita tentang Partai Demokrat dia pasrahkan kepada redaktur lain. “Saya tahu diri lah,” ujar Tanto.

Wartawan Borneo Tribune lainnya, Endang Kusmiyati, juga tetap menjalankan tugasnya sebagai wartawan, meski terdaftar sebagai calon legislator PAN. Endang, misalnya, terus melakukan wawancara terhadap caleg-caleg lain, baik yang dicalonkan PAN maupun yang dicalonkan partai lain. Endang juga mewawancari caleg dari daerah pemilihan yang sama dengan dirinya. Menurut dia, sepanjang layak dan menyangkut persoalan masyarakat, informasi dari para caleg pesaingnya itu tetap harus ditulis.

Dengan tetap bekerja sebagai jurnalis, waktu bagi Endang untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat sangat terbatas. Dia hanya bisa manfaatkan waktu libur, seperti Sabtu dan Minggu. Itupun, dia harus “menabung” berita terlebih dulu. Kalaupun terpaksa tidak bisa mengirim berita, dia biasanya menghubungi redaktur atau pemimpin redaksi untuk memohon permakluman.

“So, saya pikir tidak ada masalah, selama segala sesuatunya masih bisa dikomunikasikan,” kata Endang.

Pemimpin Redaksi Borneo Tribune, Nur Iskandar, mengatakan, di medianya aturan main soal jurnalis yang masuk partai atau menjadi caleg juga belum dibuat. “Sistem belum ada,” kata Nur. “Semuanya kembali kepada kejujuran masing-masing.” n



Sumber:
Wajah Retak Media: Kumpulan Laporan Penelusuran
© AJI Indonesia
Cetakan Pertama. Mei 2009
Diterbitkan oleh.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
Jl. Kembang Raya No.6 Kwitang-Senen
Jakarta Pusat 10420 – Indonesia
Tel. +62 21 3151214, Fax. +62 21 3151261

Tentang Penulis:
MUHLIS SUHAERI

Kelahiran Jepara (Jawa Tengah). Menyelesaikan pendidikan S1 di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), Jakarta, Fakultas Komunikasi, Jurusan Jurnalistik.

Aktif menulis di media independen Indymedia Jakarta. Mengikuti berbagai pelatihan jurnalistik. Diantaranya, jurnalisme radio, Jurnalisme Sastrawi, Peace and Conflict Journalism Training I-III, pelatihan investigasi Perhimpuan Pengembangan Media Nusantara (PMN) di Jakarta, workshop Peningkatan Jurnalistik bagi Redaktur oleh LPDS dan Dewan Pers, workshop Bulan Bahasa di Pontianak, Workshop isu-isu MDG’s, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Info Kespro (Kesehatan Reproduksi), Media dan HIV/AIDS, Investigasi Illegal Logging. Pernah menjadi reporter di radio Voice of Human Right (VHR).

Reporter di Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT). Menulis untuk Majalah Kajian Media dan Jurnalisme Pantau. Kontributor Majalah Play Boy Indonesia, koresponden Majalah Gatra di Kalbar. Sekarang bekerja untuk Harian Borneo Tribune di Kalbar.

Mendapatkan penghargaan Mochtar Lubis Award 2008, kategori Investigasi. Mendapat penghargaan Anugerah Adiwarta Sampoerna 2008, kategori Investigasi Sosial. Menulis buku biografi Benyamin S, “Muka Kampung Rejeki Kota” bersama Ludhy Cahyana (Yayasan Benyamin S, 2005). Menulis buku “Di Balik Novel Novel Tanpa Huruf R” (LKiS, Yogyakarta, 2006).


0 komentar:

Post a Comment

 
Toggle Footer
Top