Wednesday, November 27, 2013
0 komentar

Bodrek made in Deli Serdang

8:51 AM
Sejumlah wartawan di Deli Serdang membuat kriteria layak berita baru. Bagi mereka, berita menarik harus mengandung kasus dan juga duit.

Wartawan Bodrex
Ismail namanya. Profesinya wartawan. Medianya sulit dicari dan hanya dikenal oleh sedikit orang: surat kabar mingguan Bidik Kasus, terbitan Medan. Pos liputannya di Deli Serdang. Di kota kabupaten yang berjarak 30 kilometer dari Medan itu, nama bapak satu anak ini cukup dikenal. Sayangnya bukan untuk urusan berita, melainkan urusan lain: peras memeras.

Ismail dikenal wartawan di Deli Serdang sebagai spesialis 86, meminjam istilah kalangan polisi untuk damai di tempat ketimbang ’diberitakan’ miring. Untuk semua lagaknya itu, warga Jalan Panglima Denai, Medan, Sumatera Utara ini, mengaku punya alasan sendiri.

Begini, katanya. Sebagai wartawan Bidik Kasus, Ismail tak menerima honor apalagi gaji bulanan. Ia tertarik melamar menjadi wartawan karena syaratnya gampang. Pria 30 tahun ini cukup datang ke kantor redaksi Bidik Kasus di Jalan Mangaan, Pasar III Mabar, Kecamatan Medan Deli. Dengan membayar Rp 150 ribu, ia sudah mendapat kartu pers berhiaskan foto dirinya. Resmilah Ismail menjadi wartawan.

Suprapto, Kepala Biro Bidik Kasus di Deli Serdang, menjelaskan hal serupa kepada penulis. Dengan berpura-pura melamar menjadi wartawan Bidik Kasus, penulis diberi informasi hak dan kewajiban wartawan Bidik Kasus, persis yang disampaikan Ismail.

Kewajibannya sebagai wartawan bisa dianggap enteng, bisa tidak. ”Tiap terbit, anda wajib menjual 15 eksemplar koran,” kata Suprapto. Karena korannya terbit mingguan, waratawan Bidik Kasus sebulan harus menyetor setara penjualan 60 eksemplar koran. Dengan harga per eksemplar Rp 3 ribu, total duit setoran Rp 180 ribu perbulan. Bagi Is—panggilan akrab Ismail—dan sejumlah wartawan Bidik Kasus lain, ’target’ sebesar itu termasuk berat. Harus banting tulang, baru ’setoran’ itu bisa ditutup.

Lalu dari mana Is bisa menghidupi keluarganya? ”Pintar-pintar wartawan lah di lapangan,” katanya. Setiap bulan, Is harus membawa pulang penghasilan sedikitnya Rp 1,5 juta. Itu ongkos hidup sebulan istri dan satu anaknya yang masih balita. Duit itu sudah termasuk ongkos sewa rumah, rekening air, listrik dan susu anak.

Beban ’gaji’ dan setoran itu memaksa Ismail mencari narasumber yang cepat menghasilkan uang. Di koran Bidik Kasus, setiap wartawan diberi kelonggaran seluas-luasnya menggali berita. Soal akurasi berita, itu urutan nomor sekian. Yang penting berita naik cetak, dan esoknya harinya, si wartawan mendapat keuntungan dari berita tersebut. ” Orang kantor cukup mengerti soal itu,” ujar Is.

Meskipun korannya tidak beredar umum di pasaran, wartawan Bidik Kasus cukup ’berkibar’ di antara para jurnalis di Medan dan Deli Serdang. Bahkan sebagai koran mingguan, Bidik Kasus sudah memiliki biro-biro daerah. Meliputi seluruh kabupaten/ kota di Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dan sejumlah perwakilan di Sumatera Barat.

Tidak diketahui persis bagaimana kiat dan manajemen mengelola koran seperti Bidik Kasus, sehingga mereka bisa berkembang. Basri Lubis, Pimpinan Umum/Pimpinan Redaksi Bidik Kasus, mengunci mulutnya rapat-rapat menolak menjawab soal tersebut.

Di Deli Serdang, wartawan seperti Ismail bukan cuma seorang. Mereka kerap meliput berita secara bergerombol, seperti ikan teri. Pejabat dan narasumber setempat punya sebutan khusus untuk wartawan seperti Ismal cs, yakni jurnalis kasus. Itu setipe dengan sebutan bagi jurnalis bodong alias wartawan tanpa surat kabar (WTS), yang lebih memburu amplop ketimbang memburu berita.

Tiap hari, Ismail dan kawan-kawannya bergerilya dari satu instansi ke instansi lain, dari satu sumber ke sumber lain, untuk mendapatkan ‘pucuk’ (istilah untuk uang, red). Biasanya Is dan beberapa rekannya sudah punya bahan atau informasi awal tentang suatu kasus. Informasi itu bisa mereka dapat dari temuan langsung di lapangan, berita koran, atau hasil kasak-kusuk di antara mereka. Jika ada ‘bahan’ yang kuat baru Ismail cs mendatangi korbannya. Alasannya ’konfirmasi’.

Biasanya kalau ada ’bahan’, oknum yang punya masalah tak akan banyak berkilah. ”Biasanya langsung dapat sinyal untuk 86 dari korban,” ujar Is, yang hanya bertahan 3 bulan bekerja di Bidik Kasus. Besar kecilnya ’penghasilan’ yang didapat, menurut pengalaman Ismail, tergantung besar kecilnya musibah atau masalah yang menimpa narasumber.

Misalnya saja, peristiwa kebakaran gudang pengolahan kayu PT. Usaha Karya Bahagia di Jalan Binjai Km 12 atau persisnya di Jalan Kompos No. 2 Deli Serdang, pukul 10.00 pagi, akhir Februari lalu. Api diduga berasal dari terbakarnya mesin penghalus kayu. Pasca kebakaran, Is dan 5 orang wartawan mendatangi Ashari, 46 tahun, pemilik gudang, yang sedang berada di lokasi.

Mereka tak butuh waktu lama untuk memaksa warga komplek perumahan Setia Budi Medan ini merogoh kantongnya dan melepas Rp 500 ribu duit miliknya. Wartawan menakut-nakuti Ashari dengan isu kesengajaan melakukan sabotase pada kebakaran gudang. Isu itu sebenarnya akal-akalan dan tak jelas sumbernya. Keesokan harinya berita kebakaran itu terbit menghiasi beberapa koran, tapi tak tertulis soal dugaan sabotase pada kebakaran gudang itu.

Jurnalis kasus tak pandang korban. Kaya miskin bisa jadi sasaran. Seperti keluarga Hasibuan, warga Perbaungan. Saat itu salah satu keluarga mereka, sebut saja Wati dilaporkan korban ke Polsek Perbaungan karena dituduh mencuri. Meski memilih jalan damai dan membayar Rp 3 juta rupiah kepada korban, masalah tidak juga selesai. Korban ngotot meneruskan perkaranya sampai ke pengadilan.

Saat itulah seorang oknum wartawan, mengaku bernama Ivan, mendatangi Wati. Ia menawarkan diri menjadi dewa penolong. Karena percaya Ivan bisa membuat kasusnya tak sampai ke pengadilan, Wati rela membayar hingga Rp 2 juta rupiah kepada si wartawan. Ternyata janji Ivan palsu belaka. Derita Wati belum berakhir. Di Kejaksaan, Wati diperas oknum jaksa sebesar Rp 2 juta untuk meringankan tuntutan hukumannya.

Namun sewaktu-waktu, jurnalis kasus juga harus rela pulang dengan tangan hampa. ” Kalau gagal, itu paling seringlah,” aku Ismail. Seperti saat menjadi makelar kasus anak seorang kepala rumah sakit umum di Deli Serdang yang tertangkap karena tersandung kasus narkoba. Kepada keluarga korban, Is mengaku dekat dengan oknum petugas. Sebaliknya kepada petugas, Is mengaku bisa mengatur kesepakatan dengan keluarga.

Setelah bernegosiasi, keluarga korban bersedia menyediakan uang Rp 50 juta untuk ’86’. Namun transaksi batal, karena penangkapan tersangka gencar dimuat koran lokal. Rejeki kakap jutaan rupiah pun melayang. Is hanya diberi ongkos ganti bensin Rp. 100 ribu dari keluarga tersangka. Masih ditambah pesan: agar pemberitaan anaknya jangan dibesar-besarkan.

Kantor atau instansi pemerintah yang rajin menebar amplop adalah tempat mangkal dan langganan para jurnalis kasus. Tempat-tempat itu juga ajang liputan mereka sehari-hari. Umumnya jurnalis kasus di instansi tertentu punya sumber berita yang sangat royal dan gampang mengeluarkan ’pucuk’. Mereka juga gampang dan cepat mendapat informasi soal manipulasi atau penggelapan yang dilakukan oknum pejabat.

Misalnya, soal temuan penggelapan dana pembangunan press room di Deli Serdang. Pembangunan press room senilai Rp 280 juta dan telah dianggarkan dari APBD di tahun 2000 seakan hilang tak berbekas. Puluhan wartawan cetak dan elektronik di Deli Serdang sempat berdemo ke kantor DPRD, kantor Bupati, dan Kejaksaan Negeri menyoal kasus itu, pertengahan Februari lalu (berita demo terbit di media massa, 19
Februari 2009). Tragisnya, setelah berita muncul, tak ada lagi koran yang memberitakan nasib press room. Rupanya penyimpangan itu cukup selesai dengan ’delapan enam’.

Jurnalis kasus juga bukan monopoli pria. Lince Hutabarat, yang juga bekerja di koran Bidik Kasus, mengakui sering pula mencari ’pucuk’. Hanya, wanita 46 tahun ini bermodus lain dalam mencari iklan. ”Saya lobi-lobi saja sambil mencari iklan,” kata Redaktur Pelaksana Bidik Kasus ini.

Iklan yang dibidik Lince berbeda dengan iklan media cetak umumnya. Dia tak perlu membubuhkan keterangan iklan atau advertorial pada medianya. Di musim pemilu, misalnya, yang diperlukan Lince adalah ’daftar hitam’ kasus para caleg. Dengan sedikit gertakan, para caleg biasanya memilih memampangkan foto dan atribut kampanyenya di Bidik Kasus. Selain diminta membayar berita iklan, mereka pun diminta membeli seratus eksemplar koran. Setelah dipotong sekian persen untuk jatah pemimpin redaksi, uang selebihnya masuk kantong Lince. ”Itu komisi saya,” jelasnya.

Di kalangan wartawan kasus Deli Serdang, Lince dikenal punya mental baja. Keberaniannya untuk ’delapan enam’ tidak kalah dengan wartawan kasus pria. Selain jago melobi, Lince terbilang senior di kalangan wartawan kasus. Tak heran, ia sering diperalat wartawan lain untuk menembus sumber.

Lince mengaku terpaksa bekerja di Bidik Kasus karena desakan ekonomi. Penghasilan suaminya sebagai tukang becak dayung tak cukup mengongkosi rumah tangga dan biaya sekolah Ucok, 12 tahun, anak mereka yang kini duduk di bangku SMP.

Lince bukan tak ingin pindah ke media yang mampu menggajinya dengan baik. Selain kurang percaya diri, ia merasa usianya tak muda lagi. ”Biar mengalir seperti air, kalau ada peluang usaha yang lebih menjanjikan, pastilah diambil,” tambah Lince yang tak tahu sampai kapan akan bekerja sebagai wartawan di Bidik Kasus.

Namun, Lince sebenarnya bukan pengangguran. Sehari-hari, dia juga mengajar di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan swasta di Medan. Honor mengajar memang tak seberapa. Tapi, ditambah ”pucuk” dari lapangan, alumni Jurusan Bahasa Indonesia sebuah perguruan tinggi di Medan ini mengaku hidupnya tak susah-susah amat. ”Ya pintarpintar ajalah menjalani hidup ini,” ujar Lince sambil menarik asap rokok Gudang Garam Surya dalam-dalam.

Di Medan, media-media tak jelas seperti Bidik Kasus terus bertumbuhan. Tapi, jangan harap Anda bisa menemukan koran-koran itu di loper atau pengecer pinggir jalan. Soalnya, koran-koran kasus hanya dicetak dan diedarkan terbatas dikalangan narasumber dan instansi pemerintah yang berhasil ’dikasuskan’. n



Sumber:
Wajah Retak Media: Kumpulan Laporan Penelusuran
© AJI Indonesia
Cetakan Pertama. Mei 2009
Diterbitkan oleh.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
Jl. Kembang Raya No.6 Kwitang-Senen
Jakarta Pusat 10420 – Indonesia
Tel. +62 21 3151214, Fax. +62 21 3151261
www.ajiindonesia.org



Tentang Penulis:

IRVAN SUGITO

30 Tahun yang lalu di Kuta Cane, Aceh Tenggara tepatnya 6 April 1979 putra berdarah Aceh-Jawa ini lahir ke dunia. Sejak SD hingga SMU ia menghabiskan waktunya di Kota Langsa yang dulunya merupakan Ibu Kota Kabupaten Aceh Timur Nanggroo Aceh Darussalam (NAD).

Ia hijrah ke Medan dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri Universitas Sumatera Utara mengambil Jurusan Bahasa Jepang pada tahun 1998. Sebagai mahasiswa, buah hati pasangan Abdul Hajad Bida dan Rukiyem ini aktif berorganisasi.

Ia pernah menjabat sebagai Ketua Teater O USU sejak tahun 2000 hingga 2004. Selain aktif melakoni pementasan drama bersama Teater O, juga terlibat dalam pembuatan naskah drama diantaranya Best Of The Best dan Salah Kaprah.

Selain itu beberapa karya puisinya seperti Cerita Duka, Pantai Kelang, Ujung Barat Indonesia pernah diterbitkan di koran harian lokal Analisa. Di dunia jurnalis lelaki penggemar makan mi Bakso ini pertama kali memberanikan diri terjun sebagai jurnalis di harian Lokal JawaPos grup di Sumut Pos pada tahun 2006 hingga 2008.


Selanjutnya pada awal tahun 2009 pindah ke media lain, dan hingga sekarang tercatat sebagai wartawan MedanBisnis -Medan. Ia memiliki moto hidup ‘mengalir seperti air, dan tidak malu untuk mengakui kekurangan’.

0 komentar:

Post a Comment

 
Toggle Footer
Top