Friday, November 29, 2013
One komentar

Harga Sebuah Idealisme Foto Jurnalistik

7:31 PM
Harga Sebuah Idealisme Foto Jurnalistik;
etika dalam foto jurnalistik
“Idealisme fotografer jurnalis justru dengan menciptakan foto yang benar dan bermutu tinggi…”

Fotografi merupakan sarana utama dalam memperoleh suatu fakta. Itulah kenapa Ashadi Siregar _wartawan kenamaan Indonesia_ menyebut foto sebagai indeks dari fakta-fakta di luar sana. Pun dengan foto jurnalistik yang merupakan representatif dari fakta.

Kini, foto jurnalistik menjadi lahan basah bagi pelaku media. Perkembangan teknologi secara mutakhir menciptakan kamera digital (DSLR) dengan tingkat fokus tinggi bisa menghasilkan jepretan yang bagus yang bisa dikomersialkan dengan harga fantastis.

Menyoal harga yang tinggi untuk sebuah foto jurnalistik, diakui Arbain Rambey _fotografer jurnalistik Kompas_ bukan berarti idealisme kewartawannya tergadaikan. Idealisme fotografer jurnalis justru diyakini Arbain adalah dengan menciptakan foto yang benar dan bermutu tinggi.

“Kalau bisa dibayar mahal, itu idealisme juga. Saya nggak mau kalau foto saya cuma dibayar Rp100-200 ribu satu foto, itu idealisme. Bukan berarti idealisme itu fotoku tidak dihargai dengan uang, itu salah kaprah. Seorang profesional adalah dapat uang segede-gedenya dari ilmu yang didapat,” kata Arbain di Galeri Antara, Jakarta (5/4/2013).

Arbain Rambey
Arbain Rambey
Bisnis foto jurnalistik juga dipengaruhi oleh harga sebuah kamera yang semakin murah dari masa ke masa. Arbain menceritakan pada awal kemunculan kamera digital sekitar tahun 90-an, Kompas dan Jawa Pos menjadi dua surat kabar Indonesia yang memiliki kamera canggih tersebut.

“Itu pun baru tahun 97-an Kompas dan Jawa Pos memilikinya,” Arbain mengenang seraya mengatakan betapa mahalnya harga kamera digital saat itu.

Jual Beli Foto

Semakin terjangkaunya harga sebuah DSLR, semakin banyak pula fotografer lahir dengan hasil foto yang baik dan bagus secara seni dan momentum. Maraknya sindrom ”motret” dinilai Arbain memiliki sisi positif dan negatif.

Secara positif, orang jadi banyak yang memotret dan menghasilkan karya yang bagus pula. Akhirnya, bermunculan freelancer. Kemunculan freelancer secara praktis dikatakan Arbain menguntungkan media. “Kalau dia (freelancer) sakit, perusahaan nggak bertanggung jawab ngobatin kan? Prinsipnya, ada foto kita bayar. Begitulah tren saat ini,” katanya.

Bisnis foto jurnalistik pun menjadi lahan basah bagi kantor berita asing seperti AAP (Australia), Reuters (Inggris), AFP (Perancis), DPA (Jerman), Kyodo (Jepang), Bernama (Malaysia), Xinhua (PR China), CIC (Columbia), NAMPA (Namibia), dan lain-lainnya.

“Kompas pun berlangganan foto dari kantor berita asing. Sebulannya kita bayar sekitar Rp50 juta dan ratusan foto kita terima,” ucapnya.

Bisnis jual-beli foto jurnalistik diakui Arbain terjadi karena keterbatasan waktu seorang fotografer untuk mengcover semua peristiwa. “Untuk rubrik metropolitan saja, Kompas hanya punya dua fotografer, padahal Jakarta kan luas,” kata fotografer kelahiran Semarang, 2 Juli 1961.

Jika ditilik dari sisi negatifnya, fotografer amatiran yang tidak mempunyai semangat memotret tentu akan malas mengklik tombol fokusnya karena terlalu banyak saingan.

Oleh karena itu, perlu dipertegas antara fotografer profesional dan amatiran. Arbain mengatakan, fotografer profesional berarti mencari uang dari fotonya. Sedangkan fotografer amatiran kebalikannya. Jadi, makin mudahnya orang memiliki kamera digital dewasa ini menjadi tantangan bagi para fotografer profesional.

Hunting dan Keberuntungan

Sebagai fotografer senior, Arbain mengingatkan kaum muda yang hobi foto untuk rajin-rajin hunting atau berburu foto untuk mengasah kepekaan. Akan tetapi, hunting saja tidak cukup. Kata pria yang mulai memotret pada 1977 ini ada yang namanya keberuntungan (luck).

“Rajin-rajin saja tidak cukup, banyak-banyak berdoa. Usaha, berharap, dan berdoa. Minta sama Tuhan,” katanya pria yang fotonya pernah dihargai Rp 20 juta. 



1 komentar:

 
Toggle Footer
Top